Belajar dari Sekitar

Udah lumayan lama gue gak mampir di blog ini (gue sampe lupa kalo gue punya blog). Dan ini adalah postingan pertama gue di bulan April, ‘bulan’-nya gue.

Beberapa tahun terakhir gue selalu mengalami titik jenuh pada bulan April. Gue juga gak tau kenapa kenapa bisa begitu. Tapi yang jelas, setiap memasuki bulan April, mood gue selalu berubah-ubah. Gue jadi males ngapa-ngapain, dan gue jadi gampang bosan. Ini yang gue paling gak suka dari bulan April. Karena setiap kali April datang, gue akan berada pada titik jenuh sejenuh jenuhnya jenuh.

Tapi untuk tahun ini, gue akan mencoba untuk menghilangkan kejenuhan itu. Karena gue yakin, kejenuhan bukan ada pada bulannya, tapi karena kita sendiri yang membiarkan kejenuhan itu untuk datang (ini gue lagi ngebahas apa).

Setiap kali gue ngerasa jenuh atau hopeless, gue selalu teringat sama janji pada diri gue sendiri. Iya, gue pernah berjanji kalau gue harus menyelesaikan apapun yang telah gue mulai. Makanya, gue punya kebiasaan menempelkan gambar-gambar ataupun tulisan di dinding kamar (sampai-sampai kamar gue gak ada bedanya sama lapak majalah bekas). Seenggaknya, disaat gue ngerasa jenuh, dan disaat gue butuh suntikan semangat, gambar-gambar dan tulisan itu bisa menjadi pengingat bagi gue. Iya, gambar dan tulisan itu seakan-akan berkata, “Jalan gue masih panjang, gue harus sampai di Seoul, naik cable car di Namsan Tower, ngeliat patung King Sejong The Great si penemu aksara Korea itu, melewati gerbang salah satu kampus di sana, menjalankan Puasa Ramadhan di Korea (at least, gue musti ngerasain buka puasa bareng di Kedutaan RI yang ada di Seoul), sholat berjamaah di salah satu Mesjid di Itaewon, melihat daun-daun berguguran disaat autumn mulai menyapa, dan masih ada banyak hal yang musti gue lakukan. So, jangan berhenti sampai disini. Jangan berhenti. Jangan berhenti. Setidaknya tunaikan salah satu dari sunnah Rasulmu”. Kira-kira begitulah perkataan si gambar (dan gue pun mulai delusional)

Well, percaya atau tidak. Gambar atau tulisan yang kalian tempelkan di dinding kamar merupakan representasi dari kehidupan kalian di masa depan. Semakin positif tulisan yang kalian tempelkan, maka semakin postif pula pandangan hidup kalian untuk kedepannya. Kalau kalian punya pajangan tabel perkalian, ya, bisa jadi di masa depan nanti kalian bakal jadi ahli matematika. Kalau kalian menempelkan gambar menara eiffel, yaa, bisa jadi di masa depan nanti kalian akan bermukin di salah satu sudut kota Paris. Intinya, tempelkan hal-hal yang baik, untuk mendapatkan hal-hal yang baik pula 🙂

Oiya, bicara soal semangat hidup, gak usah jauh-jauh. Cukup lihat orang-orang disekitar dan kita akan merasa betapa beruntungnya diri kita dibanding mereka.

Dua minggu yang lalu saat gue mengambil kelas Copywriting, gue duduk disebelah salah seorang teman laki-laki (di kelas gue populasi laki-laki itu bagaikan tumpukan jerami di tengah sawah, alias banyak abiss, abiss banget banyaknya). Waktu dosen lagi ngasih materi, tiba-tiba temen gue menyodorkan sebuah buku yasin (buku yang biasa dipakai waktu tahlilan). Dan temen gue bilang, “Mut, liat nih, desain buatan aku”. Lalu gue ambil bukunya, dan gue buka. Ternyata itu adalah buku yasin untuk memperingati 40-harian ayahnya temen gue itu. Gue cuma bisa diem, sambil ngebolak-balik halamannya. Temen gue juga diem. Kita berdua diem. Seisi kelas juga ikut-ikutan diem. Eh, ternyata emang kelasnya yang udah bubar (gue dihajar)

Engga ding, gue serius. Waktu libur semester kemarin, ayahnya temen gue itu meninggal dunia. Untuk memperingati 40 hari meninggalnya sang ayah, temen gue itu nge-design sendiri buku yasin-nya (yang bakal dibagi-bagikan pada saat tahlilan). Temen gue cuma bilang, “Gak nyangka, klien pertama aku ternyata adalah ayahku sendiri. Ternyata karya desain pertamaku diperuntukkan buat ayah, tapi dalam bentuk buku yasin”.

Sumpah, gue terharu sekaligus bangga sama temen gue itu. Sebagai seorang anak, mungkin buku yasin adalah salah satu bentuk pengabdiannya pada sang ayah. Buku yasin menjadi kado terakhir, sekaligus kado terindah yang ia berikan pada ayahnya. Mungkin secara fisik, sang ayah gak pernah melihat bagaimana bentuk kadonya. Tapi gue yakin, cinta kasih seorang anak pasti tersampaikan melalui sebuah buku, yang bertuliskan kata YASIN.

Gue merasa beruntung (bukan berarti gue menari-nari diatas musibah yang dialami oleh temen gue itu loh yaa). Gue cuma ngerasa kalo gue masih jauh lebih beruntung. Alhamdulillah, ayah sama ibu gue masih diberikan umur yang panjang serta kesehatan, sementara temen gue itu musti menjalani kehidupan dengan orang tua yang tak lagi lengkap. Gue masih beruntung, karena gue masih punya orang tua, sementara diluar sana ada jutaan anak yatim yang harus hidup tanpa mengetahui bagaimana rupa orang tua mereka. Iya, gue masih jauh lebih beruntung.

Gue jadi terinspirasi oleh temen gue itu. Gue punya cita-cita, kalau suatu saat nanti, disaat Allah menghendaki Ayah gue untuk kembali, gue mempunyai suatu karya yang bisa gue hadiahkan sebagai kado terakhir. Karena ajal itu merupakan takdir dan rahasia Illahi. Gak ada yang tau pasti kapan kita akan kembali. Entah ayah gue yang akan berpulang terlebih dahulu, atau, bisa jadi gue. Wallahu’alam. Makanya, mulai dari sekarang gue mencoba untuk menjadi anak yang baik. Gue mencoba untuk memberikan yang terbaik. Sebelum ayah gue benar-benar telah ‘kembali’, gue harus bisa membuat ayah bangga. Seenggaknya ayah gue bisa dengan bangganya berkata, “Iya, itu putri saya”

Yah, seperti halnya buku yasin tadi (yang didedikasikan oleh temen gue untuk ayahnya), gue juga harus bisa mendedikasikan sesuatu yang bermanfaat bagi ayah gue sendiri. Gak harus berupa benda yang bisa diraba secara fisik, tapi menurut gue, dengan menjaga amanah dari beliau, ini adalah bentuk dedikasi gue sebagai seorang anak…

Pelajaran lainnya yang bisa gue bagi, lagi-lagi dari temen sekelas gue…

Beberapa waktu yang lalu temen gue datang ke kosan dan numpang ngerjain tugas kampus. Sebelumnya dia udah minta ijin ke gue dan bilang, “Mut, aku numpang ngerjain tugas di kosan kamu yaa, soalnya kalau di rumah, aku musti bantu-bantu ortu”.

Awalnya gue sempat bertanya-tanya, pekerjaan macam apa yang dilakukan temen gue sampai-sampai doi gak punya waktu buat ngerjain tugas kampus. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, gue mulai paham sama kondisi temen gue itu. Iya, setelah sibuk seharian di kampus, doi musti bantu-bantu usaha orang tuanya di rumah, bahkan sampai malam, sampai doi kurang tidur.

Lagi-lagi, gue merasa sangat beruntung. Setidaknya gue masih punya banyak waktu untuk mengerjakan tugas kampus. Saat liburan pun, disaat gue pulang kampung, gue gak punya kewajiban untuk bantu-bantu usahanya bokap (soalnya bokap udah punya pegawai sendiri). Paling kerjaan gue selama dirumah cuma bantu-bantu nyokap masak, nyuci piring, nyapu rumah, habis itu tiduran sambil makanin upil. Iya, rasanya apa yang gue lakukan masih jauh lebih ringan dibanding apa yang dilakukan oleh temen gue itu di rumahnya.

Kadang gue ngerasa apa yang gue lakukan belumlah maksimal, jika dibandingkan dengan temen gue itu. Ditengah kegiatannya yang padat (baik di kampus maupun di rumah), doi masih bisa meraih IP yang bagus. Yah, IP gue juga gak jelek-jelek amat sih, tapi jika dibandingkan dengan temen gue itu, rasanya gue masih ketinggalan jauh. Dia yang dengan setumpuk kegiatan itu masih bisa mendapatkan IP yang bagus, masa, gue yang dengan kegiatan seiprit ini bisa kalah? Harusnya gue bisa lebih baik, kan? Iya, seenggaknya gue harus mencoba untuk lebih baik lagi. Seperti yang dilakukan oleh temen gue itu…

Satu lagi pelajaran berharga dari temen sekelas gue…

Akhir semester kemaren, temen gue pernah bilang kalau dia terancam cuti akademik karena kekurangan biaya untuk bayar SPP. Setelah diselidiki, ternyata temen gue itu membayar uang kuliah dari kantongnya sendiri, alias gak minta-minta sama orang tua. Satu hal yang belum bisa gue lakukan hingga saat ini. Iya, sampai detik ini, segala kebutuhan gue secara finansial masih disokong oleh orang tua dan abang gue. Apapun yang gue butuhkan, pasti gue ngadunya kalau gak ke orang tua, ya, ke abang. Rasanya gue cemen banget. Apa-apa masih minta. Sementara temen gue udah bisa membiayai dirinya sendiri.

Jujur, emang nyaman sih, berada di posisi gue sekarang ini. Saat mau bayar SPP, gue tinggal telepon nyokap, tunggu beberapa saat dan rekening gue pun terisi dengan jumlah yang harus dibayarkan. Saat gue mau mudik, tinggal bilang ke abang, dan gak lama kemudian, tiketpun udah di tangan. Zona nyaman yang membuat gue terlena. Iya, zona nyaman seperti inilah yang akan jadi bumerang di kehidupan masa depan gue kelak.

Belajar dari pengalaman temen gue tadi, gue pun bertekad untuk mulai menabung sedikit demi sedikit, untuk merencanakan masa depan yang lebih baik. Karena cepat atau lambat, gue harus bisa berdiri dengan kaki gue sendiri, tanpa harus meminta sokongan dana dari orang tua maupun abang. Iya, cepat atau lambat, kedua orang tua gue harus kembali kepada-Nya. Cepat atau lambat, abang pun akan punya kehidupan sendiri, dengan kebutuhan yang lebih banyak lagi. Cepat atau lambat, gue harus bisa apa-apa sendiri. Karena orang tua gue maupun abang, gak akan selamanya bisa menyokong gue secara finansial. Makanya, mulai sekarang gue membiasakan diri untuk menabung. Dan gue menyebutnya dengan tabungan masa depan. Supaya gue bisa berdiri dengan kaki sendiri, seperti yang dilakukan oleh temen gue tadi…

Dan pelajaran terakhir yang bisa gue ambil dari lingkungan sekitar…

Disekitar tempat tinggal gue (kosan) ada seorang tukang sampah yang sudah lanjut usia (kira-kira usianya 70-80 tahunan). Gue masih inget jadwal kelilingnya si bapak itu, yaitu setiap hari Selasa. Makanya, setiap gue berangkat ngampus di hari Selasa, gue selalu berpapasan dengan bapak itu.

Bapak itu berkeliling kompleks, singgah dari rumah ke rumah untuk mengambil sampah. Beliau juga membawa sebuah gerobak berukuran sangat besar (gue sampai gak habis pikir, bagaimana bisa si bapak dengan usia 70-80 tahunan, bisa mengangkut gerobak sebesar itu?). Setiap kali ngeliat bapak itu, gue jadi teringat sama bokap yang jauh disana.

Gue ngerasa kalau bokap masih jauh lebih beruntung dibanding bapak itu, meskipun pekerjaan yang dilakukan bokap sama beratnya. Tapi seenggaknya, bokap gue gak musti keliling kompleks untuk mencari sesuap nasi. Seenggaknya bokap gue gak harus mengangkut beban seberat itu. Iya, seenggaknya bokap gue masih jauh lebih beruntung ketimbang si bapak.

Tapi, dibalik kekaguman gue sama si bapak, ada satu pertanyaan yang masih mengganjal, “Kemanakah anak-anaknya?”

Gue selalu bertanya-tanya, apakah si bapak memiliki anak? Kalau iya, kemana anak-anaknya? Bukankah seharusnya si bapak berdiam diri di rumah dan menikmati masa-masa tua ditemani oleh cucu-cucu yang lucu? Lantas, kenapa si bapak harus berkeliling kompleks menjadi tukang sampah?

Tapi gue mencoba untuk berpikir positif. Bisa jadi si bapak tidak memiliki anak, sehingga ia harus berjuang untuk menafkahi dirinya sendiri. Atau, bisa jadi ia memiliki anak, dan anaknya telah berusaha untuk diam di rumah, tapi karena si bapak tidak ingin membebani anak-anaknya, makanya beliau mencoba untuk mencari nafkah sendiri. Wallahu’alam.

Sebagai seorang hamba, bapak itu telah menunaikan salah satu tugasnya dengan baik, yaitu, berikhtiar dalam mencari nafkah. Seenggaknya si bapak gak menjadi pengemis. Iya, seenggaknya si bapak masih mempunyai pekerjaan lain selain menjadi seorang peminta-minta.

Tapi menurut gue pribadi, kalau memang benar si bapak tersebut memiliki anak, alangkah baiknya kalau si anak mencoba untuk menafkahi orang tuanya. Alangkah baiknya kalau si anak menyuruh orang tuanya untuk duduk manis di rumah, menikmati secangkir teh hangat di pagi hari, dan menikmati sisa hidup dengan penuh kebahagiaan. Karena menurut gue, hal ini adalah salah satu bentuk bakti seorang anak terhadap orang tuanya. Ibarat sebuah kalimat, “1 orang Ayah/Ibu bisa merawat 10 orang anak atau lebih. Tapi 10 orang anak tidak akan pernah bisa merawat 1 orang Ayah/Ibu dengan baik”.

Well, inti dari postingan kali ini adalah, belajar itu bisa dimana saja dan dari siapa saja. Belajar itu gak harus melalui buku atau dari hal-hal yang telah diajarkan. Belajar itu bisa dari hal yang terdekat, yaitu hal-hal yang ada di sekitar kita. Karena Allah menciptakan segala sesuatu dengan sebab yang pasti, agar kita bisa memetik pelajaran dari setiap ciptaan-Nya. Saran gue sih, sering-seringlah melihat ke sekitar, karena dengan begitu, kita bisa menyadari betapa beruntungnya diri kita dibanding yang lainnya. Betapa banyak kelebihan yang kita miliki sehingga tidak pantas rasanya bagi kita untuk mengeluh 🙂

Sekian dulu postingan kali ini. Semoga bermanfaat bagi yang mau mengambil manfaatnya 🙂

Nih, gue kasih bonus sebuah video yang nyentuh abis. Setelah menonton video ini, gue harap kita semua bisa lebih menghargai yang namanya keluarga. Tak peduli seberapa besar atau kecilnya keluarga yang kita miliki. Karena yang terpenting adalah, seberapa besar dedikasi kita untuk keluarga. Yuk, mulai sekarang luangkan waktu untuk keluarga, karena tidak ada yang tau kapan anggota keluarga itu akan berpulang satu per satu. Gue juga dalam tahap mencoba kok, gue mulai membiasakan diri untuk menelepon nyokap tiap hari kamis. Setiap hari kamis, gue akan mendengarkan cerita dari nyyokap, dan nyokap pun melakukan hal yang sama. Meskipun cerita itu terus-terusan diulang sampai kami merasa bosan. Karena gue mulai sadar, bahwa ada satu hal yang tak bisa kembali, yaitu waktu….

Tinggalkan komentar