Ramadan Kareem

Udah hari kelima di Bulan Ramadan, dan tahun keempat gue menjalani puasa jauh di perantauan. Udah gak jaman lagi ngomongin homesick atau kangen buka puasa di rumah. Sekarang yang ada dalam pikiran gue gimana caranya bisa sidang secepat mungkin, biar gue bisa segera mudik. Iya, gue deg-degan liat harga tiket pesawat akhir-akhir ini. Mahalnya pake banget. Kebangetan, emang.

Oiya, sehari sebelum Ramadan, ada berita duka dari temen sekelas gue. Bokapnya meninggal dunia di penghujung Bulan Sya’ban. Tepat sehari sebelum Ramadan. Tepat di hari pertama melakukan sahur. Gak kebayang kalo gue yang ada di posisi dia. Entah harus merelakan, atau malah terbawa perasaan. Iya, bayangin aja, disaat sedang bahagia-bahagianya menyambut datangnya Ramadan, salah satu orang yang kita harapkan akan berkumpul bersama, malah dipanggil Sang Pemiliknya. Sedih, pasti. Tapi kita bisa apa selain mengikhlaskan. Semoga amal ibadah serta iman Islam beliau diterima Allah SWT. Aamiin.

Akhir-akhir ini gue sering keinget sama perkataan nyokap. Nyokap gue pernah bilang, “Selama Mama masih hidup, maka doa-doa Mama yang akan diijabah Tuhan. Tapi kalo Mama udah gak ada, gantian doa-doa kalian yang akan bekerja”. Dan memang, setelah gue pikir-pikir, ada tiga perkara yang tidak akan terputus meskipun kita telah meninggal. Selain amal jariyah dan ilmu yang bermanfaat, ada doa dari anak yang shaleh, yang menjadi amalan yang tidak akan terputus setelah kita meninggal nanti.

Dan lagi-lagi gue mikir, sudahkah gue menjadi anak yang shaleh agar doa-doa gue tidak akan tertolak? Sudahkah gue mempersiapkan diri untuk mencetak generasi yang shaleh agar kelak saat gue meninggal masih ada anak-anak yang akan mendoakan gue?

Agak rumit, memang. Tapi yang namanya hidup ya memang rumit. Sebagai seorang anak dan calon orang tua, tentunya gue punya tanggung jawab yang besar untuk menyandang titel “shaleh”. Mungkin Ramadan kali ini bisa jadi momentum pencarian jati diri gue. Halah. Gue kesannya kayak remaja labil gitu. Tapi jujur aja, gue pengen jadi muslim yang kaffah. Berat, memang. Apalagi meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama. Kebiasaan gue berfantasi dengan abang-abang koriya, misalnya. Hahaha.

Tapi balik lagi, hidayah itu dicari, bukannya ditunggu. Tuhan telah memberikan berbagai macam petunjuk dan peringatan. Hanya saja, apakah kita mau ditunjuki dan diperingatkan? Kalo menurut gue, hidayah itu ibaratkan lampu lalu lintas. Siapa pun juga tau fungsinya buat apa. Merah untuk berhenti, kuning berhati-hati, dan hijau untuk maju. Tapi kenyataannya, masih banyak yang melanggar. Masih banyak yang nerobos lampu merah, yang katanya untuk berhenti itu. Jadi, yang bandel itu manusianya. Bukan hidayahnya yang gak dateng-dateng.

Duh, gue tiba-tiba jadi teoritis agamis gini, yaa. Haha.

Akhir-akhir ini gue juga kepikiran tentang, setelah meninggal nanti, ada gak sih yang bakal doain gue? Apakah bekal yang gue punya sudah cukup? Apakah ilmu yang gue punya sudah banyak, untuk gue bagikan sebagai salah satu amalan yang tidak akan terputus? Seberapa banyak pihak yang terbantu selama gue masih hidup? Apakah gue akan meninggal dalam keadaan khusnul atau malah suul? Siapa yang akan mengunjungi makam gue dan mendoakan gue setiap harinya? Apakah gue akan terbebas dari fitnah kubur? Apakah gue termasuk dalam golongan yang menerima syafaat di hari akhir nanti?

Memang, hidup ini sebenernya adalah cara untuk mempersiapkan kematian. Malaikat juga akan nyabut nyawa seseorang sesuai dengan kebiasaannya selama hidup. Dan saat gue mikir, siapa yang bakal doain gue kelak, disaat itulah gue kepikiran untuk menjadi ibu yang baik. Eh, maksudnya calon ibu yang baik. Setidaknya gue harus punya banyak cadangan ilmu dan pengetahuan sebagai bekal untuk jadi calon ibu. Biar pas anak-anak gue nanya apapun, everythings she/he wants to know, mereka nanyanya ke gue, bukan tetangga, atau malah asisten rumah tangga. Gue pengen jadi wanita paling pinter di rumah. Haha. Yaa, seenggaknya dilingkungan rumah tangga, gue jadi ibu idola yang tahu segala hal, mulai dari bumbu dapur, jahit kantong bolong, benerin TV, angkat galon, dan yang terpenting, gue pengen mencetak generasi yang shaleh. Biar kelak ada yang doain gue. Muehehe. Menurut gue gak masalah kalo lulusan sarjana cuma jadi ibu rumah tangga. Toh, agama pun mengatakan bahwa ibu adalah madrasah pertama bagi putra-putrinya. Baik-buruknya seorang anak itu tergantung dari siapa ibunya. Makanya, gue kembali mikir, sebaik apakah gue sehingga gue layak untuk menghasilkan generasi yang juga baik?

Iya, akhir-akhir ini gue emang kebanyakan mikir sampe otak gue kayanya udah mengkerut banget kayak biji korma.

Entahlah. Entah dengan siapa dan bagaimana generasi shaleh itu akan terlahir. Yang jelas, gue pengen banget hijrah. Kalo dulu-dulu gue pernah bikin status “can’t be moved”, sekarang gue pengennya “be moved soon”. Semoga gue serius dan istiqamah. Semoga gue bisa menjadi anak sekaligus ibu dari anak-anak yang shaleh.