Belajar Setia Dari Bapak

Pak, akhir-akhir ini aku banyak belajar tentang kehidupan. Dan guru terdekatku adalah Bapak. Iya, Pak. Aku belajar dalam diam. Diam-diam mengamati Bapak yang kian hari kian rapuh kurasa.

Pak, aku teringat akan pesan Bapak seminggu yang lalu. “Nak, ini ijazahmu bisa dipakai dimana saja? Kalau bisa, Bapak pengennya kamu itu bekerja, punya penghasilan sendiri. Kamu itu perempuan, sendiri. Kalau saudara-saudaramu butuh bantuan, ya mereka ngadunya ke kamu. Jadi kamu harus kuat secara ekonomi. Syukur-syukur kalau kamu punya suami yang ngerti keadaanmu. Kalau tidak?”.

Pak, baru kali ini aku mendengar Bapak menyinggung-nyinggung soal suami. Dua puluh tiga tahun umurku, Pak. Selama ini Bapak tidak pernah mengungkit-ungkit soal pasanganku, siapa pacarku, siapa gandenganku, siapa teman dekatku, atau bahkan siapa pemuja rahasiaku. Tapi kali ini Bapak semakin vulgar kurasa. Bapak sudah berani terang-terangan menyebut kata ‘suami’ di depanku. Pak, apa Bapak sudah tidak sabar segera punya mantu?

Pak, jujur saja, aku tidak ingin bekerja kantoran. Cita-citaku yang terbesar saat ini adalah, aku ingin menjadi istri sekaligus ibu yang sempurna bagi keluargaku kelak. Aku ingin menjadi istri yang taat bagi suamiku, dan ibu siaga bagi cucu-cucu bapak.

Pak, jujur saja. Aku tidak ingin anak-anakku nanti merasakan apa yang kurasakan dulu. Aku yang dulu merasa kesepian, Pak. Aku kesepian karena Bapak dan Ibu sibuk bekerja. Aku kesepian saat pulang sekolah dan membuka pintu, yang kudapati bukanlah Ayah dan Ibu, tapi kera peliharaan kita, Pak. Sungguh, Pak. Aku yang dulu sangat kesepian.

Pak, bukan berarti aku kecewa dengan ketiadaan kalian di masa kecilku dulu. Bapak dan Ibu selalu ada saat kami butuh. Bapak dan Ibu bekerja banting tulang di luar rumah juga demi membiayai semua kebutuhan kami. Tapi, Pak. Seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai menyadari bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya soal materi saja, Pak. Ada sebuah masyarakat kecil bernama keluarga, yang jauh lebih berharga dibandingkan materi belaka.

Pak, kalau boleh jujur, aku bahagia bisa hidup berkecukupan dari hasil keringat Bapak. Tidak ada satupun kebutuhan dasarku yang tidak Bapak penuhi. Biaya sekolah, uang jajan, baju, peralatan elektronik, bahkan Bapak pun membiayaiku untuk menonton konser idolaku di Jakarta. Tidak ada satupun yang kurang, Pak. Aku hidup dengan layak, bahkan melebihi teman-temanku. Tapi, Pak. Ada satu kehampaan yang kurasakan sampai sekarang. Saat Bapak dan Ibu sedang sibuk-sibuknya mencari nafkah untuk membiayai kami, ada satu fase keakraban yang menghilang diantara kita. Dan disaat Bapak dan Ibu mulai pensiun dari aktifitas-aktifitas itu, giliran kami yang menyibukkan diri dengan setumpuk kegilaan.  Abang sibuk bekerja, dan aku sibuk belajar di luar kota. Pak, kita ini ibaratkan dua buah garis yang sejajar, yang tidak akan pernah bertabrakan. Kita sama-sama saling egois, mendahulukan kepentingan pribadi dengan alasan “ini demi kehidupan yang lebih layak”. Tapi, Pak. Apa artinya semua materi yang kita punya kalau hati kita terasa hampa?

Pak, pembelajaran seperti ini yang terus kuulang-ulang dalam benak dan hatiku. “Aku tidak ingin kejadian serupa terulang di keluargaku nanti”. Makanya, Pak. Aku rela mengabdi pada suamiku nanti. Aku rela mengabdi untuk mendidik anak-anakku, agar semua kebutuhan mereka terpenuhi, termasuk kebutuhan akan pengetahuan Agama yang baik, pengetahuan duniawi yang mumpuni, dan yang terpenting Pak, anak-anakku tidak boleh merasa kesepian karena orang tua mereka sibuk bekerja. Yang menjadi cita-citaku, Pak, saat anak-anakku butuh sesuatu, orang pertama yang mereka cari adalah aku, ibu mereka. Disaat anak-anakku ingin bercerita tentang apapun yang mereka alami, orang pertama yang mereka temui adalah aku, sang konselor mereka. Disaat anak-anakku terpuruk dalam kondisi yang terburuk, orang pertama yang mereka mintai bantuan adalah aku, pengayom mereka. Aku rela tidak bekerja demi suami dan anak-anakku, Pak. Aku rela mengabdi sepenuh hati, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh agama kita. Soal rezeki, jangan khawatir, Pak. Bukankah Tuhan telah menjamin rezeki dari setiap makhluk-Nya termasuk aku? Tenang saja, Pak. Insya allah putrimu ini tidak akan berpangku tangan begitu saja. Aku mengabdi pada suami dan rumah tangga bukan berarti aku tidak bisa berkarya. Aku masih bisa berkarya dari rumah, Pak. Aku masih bisa menghasilkan karya-karya kreatif melalui otak dan tanganku. Insya allah, Pak. Aku bisa hidup mandiri.

Pak, kian tahun aku mulai belajar banyak tentang kehidupan. Bahwa hidup ini bukan sekadar teori yang tekstual. Hidup ini adalah proses untuk menghadapi realita, dan pada akhirnya kita akan menyadari bahwa idealisme akan kalah dengan realita. Iya, Pak. Aku contohya. Aku rela melepas mimpi-mimpiku demi sebuah realita yang ada. Aku rela mengikis perlahan cita-citaku untuk belajar ke Korea demi mengabdi pada calon imam masa depanku, Pak. Aku mulai belajar, dan menyadari jika aku tetap mempertahankan mimpi-mimpi itu, maka ada banyak hal yang harus aku korbankan. Aku berkorban usia, karena jika aku ngotot belajar ke Korea, mungkin 3 atau 5 tahun lagi barulah aku bisa pulang ke Indonesia. Ya, mimpiku bisa terwujud. Tapi bagaimana dengan Bapak dan Ibu yang semakin menua dan renta? Bagaimana dengan harapan Bapak yang ingin segera berjabat tangan dan bertukar tugas dengan seorang pemuda? Aku rela mengalah, Pak. Mengalah demi baktiku pada Bapak dan Ibu. Semoga Tuhan selalu membimbingku, Pak.

Pak, aku juga belajar satu hal dari Bapak. Aku belajar tentang kesetiaan. Terkadang aku berpikir, bagaimana bisa dua orang yang awalnya tidak saling mengenal bisa hidup bersama selama lebih dari 40 tahun lamanya? Bagaimana bisa dua orang asing dengan kepribadian yang berbeda bisa hidup berdampingan dengan rukunnya? Bagaimana caranya, Pak? Bagaimana caranya Bapak bersabar menghadapi Ibu yang keras kepala? Dan bagaimana caranya Ibu menghadapi Bapak yang meletup-letup? Bagaimana caranya kalian bisa hidup damai selama itu, Pak?

Pak, hal ini yang akan ku terapkan pada keluargaku nanti. Sebuah panutan yang Bapak dan Ibu ajarkan pada kami. Sebuah kesetiaan. Insya Allah, Pak. Aku akan dan harus setia pada imamku nanti. Aku harus setia pada ayah dari anak-anakku kelak. Aku harus setia pada pemuda yang kelak akan berjabat tangan dengan Bapak. Aku harus setia pada tulang punggung keluargaku nantinya. Aku akan belajar setia, Pak. Setia untuk tetap hidup berdampingan selamanya, sampai Tuhan memisahkan raga. Setia untuk tetap bergandengan tangan selamanya, melewati berbagai macam hal, melewati berbagai bentuk jalan mulai dari yang lurus hingga yang berliku tajam. Setia untuk tetap saling mengingatkan akan pahala dan dosa. Setia untuk saling membimbing hingga ke surga.

Pak, jikalau Tuhan menakdirkan, pemuda ini akan menjadi cinta pertamaku selama 23 tahun ini. Seorang pemuda yang selalu kusebut dalam doa tanpa menggumamkan siapa namanya. Seorang pemuda yang selalu kuminta pada Tuhan yang baik agama dan akhlaknya. Seorang pemuda yang menjadi cerminan diriku. Karena perempuan-perempuan yang baik diperuntukkan bagi lelaki-lelaki yang baik, begitu pula sebaliknya.

Pak, kurasa dia adalah pemuda yang baik. Pemuda yang menjaga jarak sebelum halal baginya. Pemuda yang tidak berani berkirim pesan denganku melebihi batas kewajaran. Pemuda yang sopan, yang mengajakku berkenalan secara langsung, tidak seperti pemuda kebanyakan yang beraninya lewat sosial media saja. Pemuda yang membuatku penasaran, namun anehnya mengajarkanku akan sebuah kesabaran. Pemuda yang bahkan namanya pun belum ku tahu pasti. Pemuda yang mengajarkanku bahwa jangan memikirkan apa-apa yang belum menjadi hak-mu. Pemuda yang berbeda sekali dengan pemuda-pemuda yang ada dalam kontak bbm ku, Pak. Jika kebanyakan pemuda seringkali menyanakan “sudah makan apa belum?” atau “sedang apa dan dimana?”, maka pemuda ini menanyakan kesanggupanku untuk berkenalan dan bertemu dengannya. To the point sekali, bukan, Pak?

Pak, doakan saja, jika memang niat kami adalah niatan yang baik, semoga Tuhan mempermudah dan memperlancar semuanya. Jika memang dia yang dituliskan-Nya di lauhul mahfuz, maka tidak ada satupun makhluk yang bisa menjauhkan kami, Pak. Semuanya sudah di bawah kendali Tuhan. Tinggal perbanyak sabar dan ikhtiar, Pak. Aku bersabar menanti calon imamku, dan Bapak bersabar menanti calon mantu.

 

 

Tinggalkan komentar