Berani Menikah. Menikah Harus Berani!

Insya Allah, atas izin Tuhan Yang Maha Kuasa, kurang lebih 6 minggu lagi gue bakalan nikah. Iya, nikah. Sama siapa? Sama seseorang yang terus-terusan gue sebut dalam doa tanpa menggumamkan namanya. Seseorang yang terus-terusan gue minta, berdampingan dengan harapan dan mimpi-mimpi yang seringkalii gue setorkan pada Tuhan. Iya, seseorang yang sama persis seperti yang gue doakan selama ini. Sungguh, Tuhan Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Tiada satupun doa (yang baik) yang tidak diijabah oleh Allah.

Sedikit flashback pada perkenalan gue dengan si calon imam ini. Semua berawal dari keisengan nyokap gue yang suka nanya-nanyain anak bujang orang. Hahah. Dan kebetulan akhir tahun lalu, anaknya temen nyokap ada yang nikah (and the truth is, my spouse to be is her best friend’s son). Iya, yang nikah itu anaknya calon mertua gue alias kakaknya calon gue ini. Disitulah nyokap kenalan dan beliau bilang pada waktu itu nyokap ser-seran, berasa deg-degan, dan yakin kalo ini adalah calon mantunya. Iya, nyokap waktu itu GeEr banget, emang.

Dan ternyata, sosok yang diliat nyokap di pesta nikahan anak temennya itu Insya Allah bakalan jadi jodoh gue dunia akhirat. Semacam ini adalah skenario termanis yang dituliskan Tuhan. Iya, siapa yang menyangka kalau pertemuan singkat nyokap dengan calon gue ini (yang tadinya cuma berawal dari guyonan emak-emak semata) berakhir pada ikatan yang lebih sakral. Siapa yang menyangka, jika gue pada akhirnya berjodoh dengan anak dari sahabat karib nyokap gue sendiri. Siapa yang menyangka, jika jodoh gue ternyata tinggal di daerah yang hanya berjarak 15 menit dari rumah gue. Siapa yang menyangka, jika dulunya gue adalah juniornya saat SD dan SMA dulu. Iya, siapa yang menyangka jika jodoh bisa sesimple dan semanis ini.

Enam minggu lagi. Gue makin deg-degan. Deg-degan yang bercampur dengan rasa was-was. Was-was yang terkontaminasi perasaan sedih ninggalin rumah. Lebih sedih lagi, saat gue mulai sadar bahwa, gue bakalan ninggalin rumah, dan nyokap bokap gue udah gak muda lagi. Sedih, banget. Lebih sedih dari 6 tahun lalu saat gue pertama kali merantau ke ujung Banda Aceh sana. Lebih sedih dari pada saat gue nangis kejer di bandara sewaktu mau take off ke Medan waktu itu. Lebih sedih dari pada hujan badai di Bandung dengan hawa dingin dan perut kosong. Entah kenapa gue ngerasa perantauan kali ini lebih dramatis.

Mungkin karena adanya perubahan status. Iya, kali ini gue merantau bukan sebagai mahasiswa lagi. Gue merantau bukan lagi sebagai si bungsu yang tiap bulan dapet kiriman dari nyokap, sesekali dapet kiriman rendang juga. Kali ini, gue merantau sebagai istri orang. Gue udah bukan anak kecil lagi. Bahkan yang sedihnya lagi, nantinya nama gue gak akan berjejer lagi di bawah nama bokap dan nyokap dalam Kartu Keluarga. Nanti gue bakal punya KK sendiri. Gue bakal punya kepala keluarga sendiri. Damn, it’s hurt. Bukan bokap lagi yang bakal jadi kepala keluarga gue. Bukan bokap lagi yang bakal tanda tangan surat menyurat gue. Bukan bokap lagi orang pertama yang kasih gue izin mau ngapa-ngapain.

Sedih. Memang, sedih. Tapi setiap kali ngerasa sedih buat ninggalin rumah, gue mencoba untuk mengingat-ingat bahwa, semua yang terjadi kali ini sangat sesuai dengan apa yang gue minta dulu. Iya, jodoh gue ini sama persis seperti yang selalu gue sebut dalam doa. Jadi terlalu kufur rasanya jika gue mulai meragu hanya karena kesedihan yang gak tau juntrungannya ini. Gue yang minta jodoh begini, jadi gue harus siap untuk menikah. Iya, segera menikah dan harus menikah.

Menikah, bukan hanya karena suka orangnya. Menikah, bukan hanya karena dia mau sama kita. Menikah tidak sebercanda itu. Bagi gue, menikah adalah salah satu sunnah Rasulullah yang bisa gue tunaikan dengan segera (dikarenakan gue mampu dan sudah ada calonnya). Gue menikah, karena ingin beribadah bersama. Menikah, karena gue yakin memang inilah sosok yang dijanjikan Tuhan sebagai jodoh gue. Menikah, bukan hanya mikir enaknya saja. Gue mau menikah dengan si “udaa” ini, karena gue merasa bahwa dia bisa menjadi teman yang baik. Teman, yang bisa menggantikan sosok ayah gue kelak (jikalau bokap gue telah berpulang nantinya). Teman, yang juga bisa berperan sebagai kakak bagi gue. Teman, yang bisa jadi bener-bener teman. Dan selama gue mengenal dia, gue ngerasa kalau, “Yaa, ini orang bisa diajak susah, senang, gila, merangkai mimpi, jatuh bangun, cerita segala macam mulai dari film aneh sampai pesta nikahan orang lain”. Iya, intinya gue ngerasa cocok. Dan yang lebih penting lagi, Tuhan punya peran dalam semua ini.

Awal Sebuah Tanggung Jawab

Yaa Rabb, wahai Tuhan Yang Maha Mengabulkan setiap doa dari hamba-Nya yang meminta. Ini aku, salah satu hamba-Mu yang datang mengadu. Hari ini, secara adat istiadat di salah satu daerah di bumi milik-Mu, aku resmi di khitbah oleh seorang pemuda yang Kau perkenalkan padaku beberapa bulan yang lalu. Sungguh, ini bagaikan mimpi. Belum genap setahun aku mengadu akan kesendirianku, memohon jodoh yang terbaik dari-Mu. Belum genap setahun aku mengadu, meminta kesabaran dan ketabahan dalam menanti ketetapan-Mu. Belum genap setahun dari permohonanku, Kau, Rabb semesta alam yang berkuasa atas langit dan bumi, menjawab rentetan doa-doaku yang panjang. Kau, menjawab doaku dengan manisnya.

Yaa Rabb, wahai Tuhan Yang Maha Mengasihi. Aku melangkah hingga sejauh ini atas izin dari-Mu. Kau yang memperkenalkan kami, mempertemukan kami, menggerakkan hati kami, memantapkan pilihan kami, dan meridhai perjalanan kami. Kau, pemilik skenario atas segala yang terjadi pada kami. Kau, yang merancang dan mengatur semuanya, termasuk hati kami. Kau, tempat kami mengadu, memohon ketetapan dan kemantapan hati atas pilihan yang telah kami jalani. Kau, tempat kami memohon petunjuk atas perjalanan panjang yang akan kami lalui nantinya. Kau, tempat kami meminta keberkahan dalam perjalanan kami hingga ke surga.

Yaa Rabb, wahai Tuhan Yang Maha Menyayangi. Kau yang menitipkan rasa ini kepada kami. Kau, yang menitipkan amanah dan tanggung jawab ini pada kami. Kau, yang meridhai perjalanan kami. Tiada lain tempat kami mengadu kecuali pada-Mu, wahai Rabb yang Maha Membolak-balikkan Hati. Jika memang benar kami adalah dua insan yang saling mencintai dan Engkaulah penyebabnya, maka dekatkanlah kami. Dekatkan kami, dekatkan hati kami, dan dekatkan kami dengan-Mu, sang pemilik cinta yang hakiki. Jika memang benar kami adalah dua insan yang saling mencintai dan Engkaulah penyebabnya, maka persatukanlah kami dalam sebuah ikatan yang Engkau ridhai. Persatukan kami dalam sebuah ikatan yang akan menghindarkan kami dan keluarga kami dari fitnah yang keji. Persatukan kami dalam sebuah ikatan yang akan menyempurnakan separuh dari agama kami. Persatukan kami dalam sebuah ikatan yang akan bernilai ibadah pada apa-apa yang kami lakukan bersama. Ridhailah, tunjukkanlah, tuntunlah, berkahilah, rahmatilah, dan bimbinglah kami selama dalam perjalanan panjang nantinya. Tuntunlah kami, hingga ke surga.

Yaa Rabb. Aku, adalah wanita matang yang siap dipinang. Aku, wanita yang Kau mantapkan hatinya hanya dalam beberapa minggu saja. Aku, wanita yang selalu bertanya pada-Mu, atas setiap keputusan yang akan ku jalani nantinya. Aku, yang memilih dia atas petunjuk-Mu. Aku, yang memilih dia, atas ketaatannya pada-Mu. Aku, yang memilih dia, karena akhlaknya pada-Mu. Aku, yang memilih dia, karena kuasa-Mu. Baik hari ini, esok, dan seterusnya, tuntunlah aku, wanita yang Kau mantapkan hatinya untuk memilihnya. Tuntunlah aku, agar aku bisa menjadi wanita shalehah, yang akan menjadi perhiasan terbaik bagi suaminya.Tuntunlah aku, agar aku bisa menjadi ibu sekaligus madrasah terbaik bagi anak-anaknya. Tuntunlah aku, agar aku bisa melahirkan generasi terbaik, yang baik Agamanya serta akhlaknya.Tuntunlah aku, agar bisa menjadi wanita, menjadi istri, dan menjadi ibu yang akan mengantarkan keluarganya ke surga.

Yaa Rabb. Jadikanlah aku wanita yang amanah. Wanita yang jika telah diberikan sebuah beban dan tanggung jawab padanya, maka ia akan menjaga amanah tersebut dengan sebaik-baiknya. Jadikanlah aku wanita yang bertanggung jawab. Bertanggung jawab atas diri sendiri, suami, anak, dan juga keluargaku nantinya. Jadikanlah aku wanita yang akan menjadi jembatan menuju surga. Ridhailah perjalanan kami, ridhai setiap keputusan kami, ridhai keluarga kami nantinya, ridhai keturunan kami, ridhai rezeki kami, dan ridhai ikatan yang baru kami mulai ini. Berikanlah kami kemantapan hati. Berikanlah kami kekuatan serta kesabaran. Jangan biarkan hati kami ragu, karena sesungguhnya, keragu-raguan itu datangnya dari syaitan. Selalu jaga hati kami, selalu jaga akhlak dan perilaku kami, dan peliharalah setiap perbuatan kami.

Yaa Rabb. Ridhailah perjalanan panjang yang baru akan kami mulai ini…

Kau Yang (mungkin) Ada Di Masa Depan

Teruntuk kau yang (mungkin) ada di masa depan, kita adalah dua orang asing yang mencoba untuk saling meraba sifat dan karakter masing-masing. Kita adalah dua orang asing yang mencoba untuk saling menerka apa-apa yang disukai dan tidak disukai oleh masing-masing. Kita adalah dua orang asing yang mencoba untuk saling mendengarkan mimpi masing-masing. Kita adalah dua orang asing yang bertemu, berkenalan, lalu saling memantapkan diri, atas kehendak Tuhan. Iya, kau dan aku adalah dua orang asing yang baru saja berkenalan.

Dua bulan yang lalu, kau, seorang pemuda yang masih asing bagiku, mengajakku untuk berkenalan. Kau, pemuda yang masih asing bagiku, menanyakan kesediaanku untuk bertemu denganmu. Kau, pemuda yang bahkan ku tak tahu siapa namamu, mengajakku untuk berkenalan secara langsung. Kau, pemuda yang berada diluar kendaliku.

Kau, pemuda yang berani. Belum genap sebulan berkenalan, kau mengutarakan niat untuk bertamu ke rumahku, bertemu ayah dan ibuku. Kau, pemuda yang seringkali menimbulkan banyak pertanyaan dalam benakku, “Berani sekali pemuda ini”, “Seyakin itukah dia?”, “Apa yang membuatnya yakin untuk bertemu orang tuaku?”.

Dan kini, kau kembali hadir dengan gagasan-gagasanmu yang unpredictable. Kau sungguh diluar dugaan. Belum genap dua bulan berkenalan, kau kembali menanyakan kesiapanku untuk hidup bersama denganmu. Kau menanyakan kesiapanku untuk membangun sebuah kapal dan berlayar bersama hingga tua nanti. Kau menanyakan kesiapanku untuk hidup jauh dari orang tua (lagi) dan tinggal bersamamu di perantauan. Kau menanyakan kesiapanku untuk menerima pemuda bersahaja sepertimu. Seorang pemuda biasa, dari keluarga biasa, dan dengan pekerjaan yang juga biasa. Kau, berkali-kali menanyakan kesiapanku untuk menikah denganmu.

Kalaulah bukan karena Tuhan yang memberikan ketetapan hati, mungkin aku sudah gamang segamang-gamangnya gamang mendengar rentetan pertanyaan darimu. Kalaulah bukan karena Tuhan yang memberikan ketetapan hati, mungkin aku akan berpikir seribu kali lagi untuk berkata YA padamu. Iya, ini semua atas kehendak Tuhan Yang Maha Membolak-balikkan hati. Berkali-kali aku berdoa agar diberikan ketetapan hati pada satu pilihan yang Dia ridhai, berkali-kali pula aku diberikan jawaban yang merujuk pada sosokmu. Berkali-kali aku menghamba, memohon diberikan petunjuk akan seseorang yang telah Dia tuliskan di lauhul mahfuz, berkali-kali pula Dia berikan jawaban yang sama, kamu.

Entahlah. Mungkin ini yang dinamakan jodoh. Sekian banyak kota yang telah kau dan aku singgahi. Sekian kali aku berpindah tempat kuliah dan perantauan, sekian kali pula kau bepergian ke tempat-tempat berbeda, namun jika Tuhan menakdirkan kita untuk bertemu pada satu titik yang sama, lantas, kita bisa apa selain mengikuti skenario-Nya?

Sungguh, baik kau dan rencana Tuhan, sama-sama diluar dugaanku. Siapa yang menyangka kalau kita akan dipertemukan dan dimantapkan hatinya secepat ini? Siapa yang menyangka kalau kau adalah anak dari kawan karib orang tuaku? Siapa yang menyangka kalau kita, dahulunya adalah senior dan junior di sekolah yang sama? Siapa yang menyangka kalau Tuhan mempertemukan kita dengan cara-Nya yang diluar dugaan seperti ini? Sungguh, berkali-kali aku mengucap syukur pada Tuhan, atas doa-doaku yang segera diijabah oleh-Nya.

Setiap kali berdoa, aku selalu memohon pada Tuhan agar senantiasa meridhai perjalanan kita nantinya. Jika memang benar kita adalah dua insan yang saling cinta dan Tuhan adalah penyebab utamanya, aku memohon pada Tuhan agar mendekatkan kita satu sama lain, mendekatkan hati kita, dan mendekatkan kita pada-Nya. Tiada lain cinta yang hakiki selain cinta Sang Rabb yang Maha Agung kepada hamba-Nya. Maka aku tidak ingin kita saling terlena dan lalai hanya karena kita saling cinta dan lupa pada Sang Pemilik Cinta yang sebenarnya. Aku juga memohon pada Tuhan, jika memang benar kita adalah dua insan yang saling cinta, persatukan kita dalam sebuah ikatan yang Dia ridhai. Sebuah ikatan yang akan mengindarkan kita dan keluarga kita dari fitnah yang paling keji. Sebuah ikatan yang akan menjadi penyempurna separuh dari agama kita. Sebuah ikatan yang akan bernilai ibadah, disetiap apapun yang kita lakukan bersama. Tiada lain obat penawar bagi dua insan yang saling mencintai kecuali pernikahan.

Teruntuk kau yang ada di masa depanku. Berkali-kali kau mengatakan padaku bahwa kau yakin dan siap seratus persen untuk hidup bersamaku. Berkali-kali juga aku mengatakan pada diri sendiri, bahwa aku juga siap menerima segala risiko yang akan kita hadapi nantinya.

Kau, seorang pemuda yang akan berjabat tangan dan bertukar tanggung jawab dengan ayahku nantinya. Kau, pemuda yang akan memikul beban berat di pundakmu. Kau, yang akan menjadi penanggungjawabku, pengayomku, pendidikku, imamku, serta pemikul dosa-dosaku nantinya. Sungguh, sebenarnya aku tidak tega membayangkan begitu banyak beban yang akan kau pikul nantinya. Tap berkali-kali kau meyakinkanku bahwa kau telah siap untuk memikul semua tanggung jawab itu.

Teruntuk kau yang ada di masa depanku. Mari kita berjalan beriringan bersama, saling menggenggam satu sama lain, berpegangan erat, melompat, berlari, terdiam, merenung akan pahala dan dosa, becerita tentang mimpi-mimpi dan surga, saling menguatkan satu sama lain, saling mengingatkan untuk tidak saling meninggalkan, saling berbagi, saling bercerita, dan saling berbahagia sampai tua sampai Tuhan memisahkan raga. Mari kita menua bersama. Mari kita beribadah dan berbahagia bersama, mencari ridha Tuhan yang telah mempertemukan kita dengan cara-Nya.

Surat Cinta Untuk Tuhan

Wahai Rabb Yang Maha Agung, ini aku, salah satu hamba-Mu yang mengadu. Tahun ini adalah tahun yang penuh berkah bagiku. Iya, Kau melimpahiku dengan rahmat-Mu yang tiada henti-hentinya. Tahun ini adalah tahun yang panjang sekaligus melelahkan. Tapi Kau mengajari dan menuntunku untuk terus bersabar. Sungguh besar cinta-Mu padaku, wahai Rabb ku.

Awal tahun ini aku dipusingkan dengan judul dan penelitian skripsi. Sempat dibuat frustasi dipertengahan jalan karena aku tak mengerti apa yang pembimbing inginkan. Aku menghamba kepada-Mu setiap malam, memohon petunjuk akan masalah yang tengah kuhadapi. Dan dengan kuasa-Mu, wahai Rabb Yang Maha Agung, Kau permudah urusanku. Kau lapangkan hati dan pikiranku. Kau perlancar tulisanku, hingga akhirnya aku bisa menyelesaikan tugasku tepat waktu. Dan hadiah indah lainnya dari-Mu, wahai Rabb ku. Kau amanahkan padaku sebuah penghargaan yang menjadi pelebur lelahku selama berjuang menulis laporan skripsi. Kau ganjar perjuanganku dengan titel sebagai “skripsi terbaik”. Maka nikmat-Mu yang mana lagi yang bisa aku ingkari, wahai Rabb pemilik dunia beserta isinya?

Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati. Masih teringat olehku beberapa bulan yang lalu aku datang menghadapmu di malam yang sepi dan sunyi. Aku mengadu, atau lebih tepatnya aku datang berkeluh kesah kepadamu. Ada banyak masalah yang kuperdengarkan pada-Mu di malam itu. Masalah kuliahku, masalah keluargaku, hingga masalah hatiku. Sungguh Kau Maha Melihat lagi Maha Mendengar, wahai Rabb ku.

Aku pernah membaca sebuah “nasihat agama” yang mengatakan bahwa jikalau Engkau, wahai Rabb semesta alam akan turun ke bumi di sepertiga malam terakhir. Aku pun tak ingin melewatkan kesempatan itu. Aku ingin lebih intim dengan-Mu wahai Rabb ku. Aku ingin bercerita semua yang ingin ku ceritakan. Aku ingin bertanya semua yang ingin ku tanyakan. Aku ingin meminta semua yang ingin ku minta. Aku pun ingin menghamba sejauh yang ku bisa.

Pernah aku berkeluh kesah pada-Mu, wahai Rabb Yang Maha Mengetahui. Aku berkeluh kesah tentang kesendirianku. Aku pun berkali-kali mempertanyakan hal ini pada-Mu, “apa yang kurang dariku?”. Aku pun berkeluh kesah pada-Mu tentang kesepian yang aku rasakan. Aku butuh teman bercerita selain Engkau tentunya, wahai Rabb ku. Ada banyak hal yang ingin ku ceritakan pada teman bercerita ku itu. Aku ingin bercerita tentang masa kecilku, mimpi dan cita-citaku, dan harapan-harapanku kedepannya. Aku butuh teman bercerita yang tau tentang ceritaku luar dan dalam. Aku butuh teman yang bersedia mendengarkan semua isi hatiku. Dan berkali-kali aku bertanya pada-Mu wahai Rabb ku, “masih lamakah ku harus menunggu?”.

Dan sungguh, lagi-lagi Kau mengajariku caranya bersabar. Penantian dalam sabar ini begitu menenangkan dan semakin nikmat ku rasa. Penantian ini penuh misteri dan bagaikan sebuah teka-teki yang harus ku jawab dengan teliti. Tahun ini aku memang belajar banyak tentang sabar. Dan sungguh, wahai Rabb ku. Tiada lain obat yang paling menenangkan di dunia ini kecuali sabar.

Aku bersabar dalam penantianku. Aku bersabar dalam puasaku yang panjang. Aku bersabar menanti ketetapanmu. Aku bersabar menunggu waktu yang telah Engkau tuliskan di Lauhul Mahfuz. Aku bersabar karena-Mu, wahai Rabb ku. Orang kekinian mengatakan bahwa aku adalah seorang singelillah. Single karena Allah. Aku sendiri karena-Mu. Aku sendiri sebagai bentuk ketaatanku pada-Mu. Aku sendiri demi menjaga amanah-Mu. Aku sendiri demi mengharapkan ridha-Mu. Sebagaimana yang telah Engkau janjikan, wanita-wanita yang baik diperuntukkan bagi lelaki-lelaki yang baik, begitu pula sebaliknya. Dan aku percaya akan janji dan ketentuan-Mu. Jikalau diriku sudah baik adanya, maka Kau akan atur sendiri pertemuanku dengan seorang pemuda yang sama baiknya. Dan Kau pun menunjukkannya hari ini wahai Rabb ku.

Wahai Rabb Yang Maha Mengetahui apa-apa yang tidak ku ketahui. Sekian lama aku berpuasa dan sendiri, disaat teman-temanku yang sebaya lebih memilih untuk menjalin hubungan “ilegal” dengan lawan jenis yang tentunya tidak Engkau sukai. Sekian lama aku menutup hati bagi orang-orang yang tidak mengerti akan arti cinta sesungguhnya. Bukankah cinta datang dari-Mu wahai Rabb ku? Lantas, kenapa cinta yang suci harus diungkapkan dengan cara yang tidak Engkau ridhai? Kalau memang cinta, harusnya segera halalkan dengan cara menikah. Satu-satunya jalan yang Engkaui ridhai dan satu-satunya obat penawar bagi dua insan yang saling mencintai.

Wahai Rabb Sang Pemilik Cinta. Terkadang lucu rasanya mendengar ada gadis yang mencari pacar shaleh, rajin mengaji dan berjamaah di masjid. Kalaulah memang ada pemuda yang rajin mengaji, harusnya dia tidak memilih jalan berpacaran. Karena Engkau wahai Rabb ku, telah menegaskan dalam firman-Mu “dan janganlah dekati zina”. Secara terang-terangan Engkau melarang hamba-Mu untuk berpacaran. Lantas, apa yang shaleh masih mau berpacaran? Jikalau ada yang berpacaran, apa masih pantas dilabeli shaleh?

Ah, sudahlah. Tak seharusnya aku membahas mereka. Harusnya aku bercerita saja tentang hatiku yang tengah berbunga karena cinta yang Engkau titipkan dihati ini. Selama ini aku berpuasa, menjaga hati dari orang-orang yang “tak pantas”, menjaga pergaulan agar menjadi pantas dan pas, menjaga perasaan agar tidak terlalu berharap, dan menjaga mimpi-mimpi agar tidak terlalu jauh menari. Sekian banyak pemuda sesumbar yang datang, sekian banyak pemuda gombal yang mendekat, sekian banyak pemuda labil yang menghampiri dan pada akhirnya aku mendebatnya dengan dalil “janganlah mendekati zina”. Semuanya mental, wahai Rabb ku. Semuanya pergi tidak ada kabar. Sungguh, Engkau sungguh sayang padaku. Engkau tidak ingin kalau aku jatuh pada hati yang salah. Engkau tidak ingin aku bersandar pada sosok yang tidak benar. Sosok yang hanya mengikuti nafsu semata tanpa tau hakikat cinta yang sebenarnya.

Sungguh Kau memang sayang padaku wahai Rabb Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ibarat seorang kekasih, Kau adalah kekasih yang protektif. Kau menjagaku layaknya seorang kekasih yang menjaga belahan hatinya. Kau menjagaku dari orang-orang yang salah. Kau menjagaku dengan sebaik-baiknya penjagaan. Sungguh. Ini sungguh romantis wahai Rabb ku. Tiada cerita romantis yang lebih menyentuh selain rasa kasih dan sayang-Mu padaku.

Wahai Rabb ku. Kini, kau tunjukkan padaku “God sign” dari-Mu. Kau tunjukkan secara perlahan apa-apa yang Kau simpan selama ini. Kau keluarkan perlahan. Mengajarkanku kembali akan apa itu bersabar. Tapi sungguh, aku sungguh menikmati rencana-Mu ini. Rencana yang tidak pernah ku duga selama ini. Rencana ajaib yang hanya Engkau yang tau. Rencana yang membuatku seringkali tersenyum tanpa sebab, tersenyum sepanjang hari. Rencana yang membuatku berpikir, “sungguh Engkau Yang Maha Mengatur, wahai Tuhanku. pengaturan-Mu tidak akan pernah meleset meskipun se-inchi”.

Wahai Rabb ku. Jika memang ini yang Engkau ridhai, maka biarkanlah cinta ini tumbuh dengan semestinya. Sebagaimana cinta yang Engkau ridhai, perkenankanlah cinta ini untuk terus tumbuh di jalan-Mu, sesuai aturan-Mu. Jangan biarkan aku menjauh dari-Mu karena hadirnya cinta yang lain. Jika memang aku dan dia saling cinta dan Kau adalah “Mak Comblang” yang paling sempurna, maka dekatkanlah kami dengan cara yang Engkau ridhai. Dekatkan kami, dekatkan hati kami, dan dekatkan pula kami dengan-Mu, Sang Pemilik Cinta Yang Abadi.

Wahai Rabb ku, aku masih menjadi kekasih-Mu, kan? 🙂

Belajar Setia Dari Bapak

Pak, akhir-akhir ini aku banyak belajar tentang kehidupan. Dan guru terdekatku adalah Bapak. Iya, Pak. Aku belajar dalam diam. Diam-diam mengamati Bapak yang kian hari kian rapuh kurasa.

Pak, aku teringat akan pesan Bapak seminggu yang lalu. “Nak, ini ijazahmu bisa dipakai dimana saja? Kalau bisa, Bapak pengennya kamu itu bekerja, punya penghasilan sendiri. Kamu itu perempuan, sendiri. Kalau saudara-saudaramu butuh bantuan, ya mereka ngadunya ke kamu. Jadi kamu harus kuat secara ekonomi. Syukur-syukur kalau kamu punya suami yang ngerti keadaanmu. Kalau tidak?”.

Pak, baru kali ini aku mendengar Bapak menyinggung-nyinggung soal suami. Dua puluh tiga tahun umurku, Pak. Selama ini Bapak tidak pernah mengungkit-ungkit soal pasanganku, siapa pacarku, siapa gandenganku, siapa teman dekatku, atau bahkan siapa pemuja rahasiaku. Tapi kali ini Bapak semakin vulgar kurasa. Bapak sudah berani terang-terangan menyebut kata ‘suami’ di depanku. Pak, apa Bapak sudah tidak sabar segera punya mantu?

Pak, jujur saja, aku tidak ingin bekerja kantoran. Cita-citaku yang terbesar saat ini adalah, aku ingin menjadi istri sekaligus ibu yang sempurna bagi keluargaku kelak. Aku ingin menjadi istri yang taat bagi suamiku, dan ibu siaga bagi cucu-cucu bapak.

Pak, jujur saja. Aku tidak ingin anak-anakku nanti merasakan apa yang kurasakan dulu. Aku yang dulu merasa kesepian, Pak. Aku kesepian karena Bapak dan Ibu sibuk bekerja. Aku kesepian saat pulang sekolah dan membuka pintu, yang kudapati bukanlah Ayah dan Ibu, tapi kera peliharaan kita, Pak. Sungguh, Pak. Aku yang dulu sangat kesepian.

Pak, bukan berarti aku kecewa dengan ketiadaan kalian di masa kecilku dulu. Bapak dan Ibu selalu ada saat kami butuh. Bapak dan Ibu bekerja banting tulang di luar rumah juga demi membiayai semua kebutuhan kami. Tapi, Pak. Seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai menyadari bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya soal materi saja, Pak. Ada sebuah masyarakat kecil bernama keluarga, yang jauh lebih berharga dibandingkan materi belaka.

Pak, kalau boleh jujur, aku bahagia bisa hidup berkecukupan dari hasil keringat Bapak. Tidak ada satupun kebutuhan dasarku yang tidak Bapak penuhi. Biaya sekolah, uang jajan, baju, peralatan elektronik, bahkan Bapak pun membiayaiku untuk menonton konser idolaku di Jakarta. Tidak ada satupun yang kurang, Pak. Aku hidup dengan layak, bahkan melebihi teman-temanku. Tapi, Pak. Ada satu kehampaan yang kurasakan sampai sekarang. Saat Bapak dan Ibu sedang sibuk-sibuknya mencari nafkah untuk membiayai kami, ada satu fase keakraban yang menghilang diantara kita. Dan disaat Bapak dan Ibu mulai pensiun dari aktifitas-aktifitas itu, giliran kami yang menyibukkan diri dengan setumpuk kegilaan.  Abang sibuk bekerja, dan aku sibuk belajar di luar kota. Pak, kita ini ibaratkan dua buah garis yang sejajar, yang tidak akan pernah bertabrakan. Kita sama-sama saling egois, mendahulukan kepentingan pribadi dengan alasan “ini demi kehidupan yang lebih layak”. Tapi, Pak. Apa artinya semua materi yang kita punya kalau hati kita terasa hampa?

Pak, pembelajaran seperti ini yang terus kuulang-ulang dalam benak dan hatiku. “Aku tidak ingin kejadian serupa terulang di keluargaku nanti”. Makanya, Pak. Aku rela mengabdi pada suamiku nanti. Aku rela mengabdi untuk mendidik anak-anakku, agar semua kebutuhan mereka terpenuhi, termasuk kebutuhan akan pengetahuan Agama yang baik, pengetahuan duniawi yang mumpuni, dan yang terpenting Pak, anak-anakku tidak boleh merasa kesepian karena orang tua mereka sibuk bekerja. Yang menjadi cita-citaku, Pak, saat anak-anakku butuh sesuatu, orang pertama yang mereka cari adalah aku, ibu mereka. Disaat anak-anakku ingin bercerita tentang apapun yang mereka alami, orang pertama yang mereka temui adalah aku, sang konselor mereka. Disaat anak-anakku terpuruk dalam kondisi yang terburuk, orang pertama yang mereka mintai bantuan adalah aku, pengayom mereka. Aku rela tidak bekerja demi suami dan anak-anakku, Pak. Aku rela mengabdi sepenuh hati, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh agama kita. Soal rezeki, jangan khawatir, Pak. Bukankah Tuhan telah menjamin rezeki dari setiap makhluk-Nya termasuk aku? Tenang saja, Pak. Insya allah putrimu ini tidak akan berpangku tangan begitu saja. Aku mengabdi pada suami dan rumah tangga bukan berarti aku tidak bisa berkarya. Aku masih bisa berkarya dari rumah, Pak. Aku masih bisa menghasilkan karya-karya kreatif melalui otak dan tanganku. Insya allah, Pak. Aku bisa hidup mandiri.

Pak, kian tahun aku mulai belajar banyak tentang kehidupan. Bahwa hidup ini bukan sekadar teori yang tekstual. Hidup ini adalah proses untuk menghadapi realita, dan pada akhirnya kita akan menyadari bahwa idealisme akan kalah dengan realita. Iya, Pak. Aku contohya. Aku rela melepas mimpi-mimpiku demi sebuah realita yang ada. Aku rela mengikis perlahan cita-citaku untuk belajar ke Korea demi mengabdi pada calon imam masa depanku, Pak. Aku mulai belajar, dan menyadari jika aku tetap mempertahankan mimpi-mimpi itu, maka ada banyak hal yang harus aku korbankan. Aku berkorban usia, karena jika aku ngotot belajar ke Korea, mungkin 3 atau 5 tahun lagi barulah aku bisa pulang ke Indonesia. Ya, mimpiku bisa terwujud. Tapi bagaimana dengan Bapak dan Ibu yang semakin menua dan renta? Bagaimana dengan harapan Bapak yang ingin segera berjabat tangan dan bertukar tugas dengan seorang pemuda? Aku rela mengalah, Pak. Mengalah demi baktiku pada Bapak dan Ibu. Semoga Tuhan selalu membimbingku, Pak.

Pak, aku juga belajar satu hal dari Bapak. Aku belajar tentang kesetiaan. Terkadang aku berpikir, bagaimana bisa dua orang yang awalnya tidak saling mengenal bisa hidup bersama selama lebih dari 40 tahun lamanya? Bagaimana bisa dua orang asing dengan kepribadian yang berbeda bisa hidup berdampingan dengan rukunnya? Bagaimana caranya, Pak? Bagaimana caranya Bapak bersabar menghadapi Ibu yang keras kepala? Dan bagaimana caranya Ibu menghadapi Bapak yang meletup-letup? Bagaimana caranya kalian bisa hidup damai selama itu, Pak?

Pak, hal ini yang akan ku terapkan pada keluargaku nanti. Sebuah panutan yang Bapak dan Ibu ajarkan pada kami. Sebuah kesetiaan. Insya Allah, Pak. Aku akan dan harus setia pada imamku nanti. Aku harus setia pada ayah dari anak-anakku kelak. Aku harus setia pada pemuda yang kelak akan berjabat tangan dengan Bapak. Aku harus setia pada tulang punggung keluargaku nantinya. Aku akan belajar setia, Pak. Setia untuk tetap hidup berdampingan selamanya, sampai Tuhan memisahkan raga. Setia untuk tetap bergandengan tangan selamanya, melewati berbagai macam hal, melewati berbagai bentuk jalan mulai dari yang lurus hingga yang berliku tajam. Setia untuk tetap saling mengingatkan akan pahala dan dosa. Setia untuk saling membimbing hingga ke surga.

Pak, jikalau Tuhan menakdirkan, pemuda ini akan menjadi cinta pertamaku selama 23 tahun ini. Seorang pemuda yang selalu kusebut dalam doa tanpa menggumamkan siapa namanya. Seorang pemuda yang selalu kuminta pada Tuhan yang baik agama dan akhlaknya. Seorang pemuda yang menjadi cerminan diriku. Karena perempuan-perempuan yang baik diperuntukkan bagi lelaki-lelaki yang baik, begitu pula sebaliknya.

Pak, kurasa dia adalah pemuda yang baik. Pemuda yang menjaga jarak sebelum halal baginya. Pemuda yang tidak berani berkirim pesan denganku melebihi batas kewajaran. Pemuda yang sopan, yang mengajakku berkenalan secara langsung, tidak seperti pemuda kebanyakan yang beraninya lewat sosial media saja. Pemuda yang membuatku penasaran, namun anehnya mengajarkanku akan sebuah kesabaran. Pemuda yang bahkan namanya pun belum ku tahu pasti. Pemuda yang mengajarkanku bahwa jangan memikirkan apa-apa yang belum menjadi hak-mu. Pemuda yang berbeda sekali dengan pemuda-pemuda yang ada dalam kontak bbm ku, Pak. Jika kebanyakan pemuda seringkali menyanakan “sudah makan apa belum?” atau “sedang apa dan dimana?”, maka pemuda ini menanyakan kesanggupanku untuk berkenalan dan bertemu dengannya. To the point sekali, bukan, Pak?

Pak, doakan saja, jika memang niat kami adalah niatan yang baik, semoga Tuhan mempermudah dan memperlancar semuanya. Jika memang dia yang dituliskan-Nya di lauhul mahfuz, maka tidak ada satupun makhluk yang bisa menjauhkan kami, Pak. Semuanya sudah di bawah kendali Tuhan. Tinggal perbanyak sabar dan ikhtiar, Pak. Aku bersabar menanti calon imamku, dan Bapak bersabar menanti calon mantu.

 

 

Belajar Sabar Dari Bapak

Pak, ku dengar-dengar dari orang lain, katanya sabar itu tidak ada batasnya. Tadinya ku pikir itu cuma bualan semata, Pak. Logikanya, mana ada manusia yang tercipta sepaket beserta nafsu, bisa menahan perasaannya hingga tak berbatas? Tapi setelah melihat Bapak, aku mulai percaya, Pak. Aku percaya kalau sabar itu tidak bertepi. Sabar itu bagaikan pantai yang tak berujung.

Pak, masih jauhkan perjalanan sabar yang harus ku tempuh? Kalaulah dengan bersabar bisa mendewasakan dan membuat kualitas diri ini semakin membaik, aku rela, Pak. Aku rela untuk menepuh perjalanan panjang berikutnya. Aku rela, meskipun di perjalanan nantinya aku harus dihadapkan dengan kondisi-kondisi pahit yang menguji kesabaran. Aku rela belajar sabar seperti Bapak.

Pak, terkadang aku berpikir bahwa sabar ini melegakan. Aku bersabar selama 23 tahun untuk tidak membuka hati kepada siapa pun yang tidak serius. Aku bersabar selama 23 tahun untuk menanti sebuah nama yang telah dituliskan Tuhan jauh sebelum aku lahir di dunia ini. Aku bersabar selama 23 tahun untuk menanti waktu yang pas, menanti sosok yang pantas, yang akan menggantikan tugas dan tanggung jawab Bapak. Aku belajar sabar, Pak. Aku belajar menanti dalam ikhlas. Aku belajar menanti dalam kepasrahan. Perempuan-perempuan yang baik adalah untuk lelaki-lelaki yang baik. Aksi sama dengan reaksi, begitu, kan, Pak? Untuk bertemu dengan lelaki yang baik, maka aku harus menjadi pribadi yang baik, kan, Pak?

Pak, sabar ku dalam konteks ini sangatlah menyenangkan. Bapak bayangkan saja, setiap hari aku berdoa memohon petunjuk dan ketetapan hati pada Tuhan Yang Maha Mengetahui. Setiap hari aku berdialog dengan Tuhan, menerka-nerka siapa dia, siapa namanya, bagaimana sosoknya, bagaimana agamanya, bagaimana akhlaknya, bagaimana keluarganya, dan bagaimana dia memperlakukan ibunya. Dan sungguh, Pak. Tuhan itu penuh dengan misteri. Tuhan itu penuh dengan kejutan. Sampai sekarang aku masih dibuat penasaran. Dan sungguh, Pak. Obat dari rasa penasaran ini adalah dengan bersabar. Ikhtiar dan tawakal juga diperlukan.

Pak, doakan aku dalam pelajaran sabar kali ini. Madu yang manis berasal dari lebah-lebah yang sabar, yang setiap hari bekerja keras untuk menghasilkan madu-madu berkualitas. Aku pun juga harus bersabar, kan, Pak? Agar aku menghasilkan keturunan-keturunan yang juga berkualitas. Kenapa bisa begitu, Pak? Iya, karena aku harus bersabar dalam menanti sosok yang pas, sosok yang pantas untuk dijadikan pasangan yang berkualitas. Agar keturunan kami nantinya sama berkualitasnya. Jangan lupa doakan aku, Pak. Doakan agar rasa sabar ku tak bertepi layaknya lautan lepas.

Menerka Si Bapak

Pak, aku putrimu yang kemarin pulang ke sisimu. Sampai sekarang aku masih menerka-nerka apa yang ada dalam benak Bapak. Sampai sekarang aku masih menerka-nerka jalan macam apa yang tersimpan rapi dalam otak Bapak yang kini terbungkus rambut tipis yang menguban. Sampai sekarang aku masih menerka-nerka sedalam apa luka hati yang Bapak pendam hingga saat ini. Pak, bolehkah aku menerka-nerka apa yang Bapak pikirkan?

Pak, aku baru sadar bahwa selama ini aku terlalu sibuk mengejar mimpi, sehingga lupa bahwa Bapak semakin menua dan renta. Aku baru sadar, Pak, jika duniaku selama ini berotasi pada sumbu yang amat pendek, sehingga aku berputar pada duniaku sendiri, dan lupa pada dunia di sekitarku. Pak, apa ini yang disebut sebagai suatu proses pendewasaan? Jika memang benar, aku lebih suka menjadi dewasa, Pak. Agar aku peka terhadap perasaan Bapak.

Pak, ku dengar Bapak ingin aku jadi PNS. Katanya agar hidupku kelak terjamin. Aku tahu kecemasan Bapak. Aku tahu kalau Bapak mengkhawatirkan kehidupanku setelah kepergian Bapak nanti. Aku tahu kalau Bapak tidak ingin putrimu ini menjadi beban bagi orang lain. Bapak ingin aku mapan dan mandiri, benar, kan, Pak? Tapi, Pak, maafkan aku jika PNS bukan passion ku. Aku bukan tipikal pengabdi yang siap menghabiskan sebagian besar waktu untuk bekerja kantoran. Bapak tau sendiri, kan. Kalau putrimu ini tipikal manusia kodok yang sebentar-sebentar berpindah. Kakiku selalu gatal untuk melangkah, Pak. Anganku terlalu tinggi untuk sekadar duduk diam di kantor. Dan yang terpenting, Pak. Aku ingin mengabdi pada keluargaku kelak. Aku ingin mengabdi pada mantu pilihan Bapak. Aku ingin mengabdi sepenuh hati untuk mengurusi cucu-cucu Bapak yang lucu.

Pak, Bapak tidak usah terlalu mengkhawatirkan putrimu ini. Soal rezeki ku nanti, percayakan saja pada Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Kaya. Bapak titipkan aku pada Tuhan Yang Maha Menjaga. Insya Allah, Pak. Hidupku akan terjamin, dan tidak ada satupun makhluk yang berani memiskinkan aku kecuali atas izin Tuhan. Simple sekali, bukan, Pak?

Pak, Bapak tahu tidak, kalau Bapak adalah sosok panutanku. Sosok Bapak seringkali membuat dadaku terasa sesak, karena aku teringat akan baktiku yang belum seberapa. Sosok Bapak seringkali membuat air mataku mengalir tiba-tiba, karena aku teringat akan perjuangan dan kerja keras Bapak dalam mendidik kami. Sosok Bapak seringkali membuat luka hatiku serasa ditaburi garam, karena aku teringat akan tubuh renta Bapak yang masih saja bekerja hingga saat ini. Pak, pada titik ini aku merasa menjadi pribadi yang sangat lemah. Putrimu ini tidak bisa setegar yang Bapak harapkan.

Pak, ku dengar juga kalau Bapak mulai mencarikan sosok pemuda yang pantas untuk mendampingi putrimu ini. Iya, Pak. Itu memang tugasnya Bapak. Aku pun percaya kalau Bapak tidak akan sembarangan dalam memilihkan pasangan. Hanya saja, Pak, entah kenapa aku sedikit rendah diri jika berhadapan dengan pemuda yang berkualitas tinggi. Seringkali aku merasa belum pantas dan belum pas jika mendapatkan pemuda yang sempurna versi Bapak. Sebagaimana yang difirmankan Tuhan bahwa lelaki yang baik diperuntukkan bagi wanita yang baik, begitu pula sebaliknya. Pak, ijinkan aku memperbaiki kualitas diriku terlebih dahulu, agar aku pas dan pantas dengan sosok yang dijanjikan Tuhan. Aku pun seringkali berdoa agar Tuhan Yang Maha Membolak-balikkan Hati memberikan ketetapan pilihan bagiku, agar aku yakin akan pemuda pilihan Bapak. Pak, sudah yakinkah Bapak akan pemuda ini? Sudah yakinkah Bapak kalau dia adalah sosok yang tepat, yang akan berjabat tangan dan bertukar tanggung jawab dengan Bapak? Sudah yakinkah Bapak bahwa pemuda ini adalah sosok yang baik agamanya, baik akhlaknya, baik keluarganya dan Bapak pun ridha kepadanya? Sudah yakinkah Bapak bahwa pemuda ini bisa membimbingku dan cucu-cucumu kelak? Sudah yakinkah Bapak bahwa pemuda ini akan menjadi teman hidupku di dunia dan akhirat nanti? Kalau Bapak sudah yakin dan benar-benar yakin, maka aku pun akan mengamininya, Pak. Tinggal berserah diri pada Tuhan, Pak. Jika memang dia pemuda yang disimpan rapi oleh-Nya dan yang tertulis namanya di lauhul mahfuz sana, Insya Allah, Pak, kami pasti akan berjodoh.

Pak, akan datang masanya putrimu diambil alih tanggung jawabnya oleh seorang pemuda yang bergelar suami. Mungkin jika saat itu tiba, Bapak bisa bernafas lega, karena tugas terakhir Bapak telah selesai, dan Bapak telah menjadi ayah yang sempurna. Tapi, Pak. Ijinkan aku menunaikan baktiku sedikit lebih lama lagi. Tidakkah Bapak rindu akan celotehanku yang selama 5 tahun terakhir telah jarang Bapak dengarkan? Tidakkah Bapak rindu mendengar cerita-cerita dariku selama hidup di perantauan? Tidakkah Bapak rindu mendengar rentetan mimpi yang dulu seringkali ku perdengarkan? Jujur saja, Pak. Masih ada banyak mimpi yang ingin ku paparkan pada Bapak. Mimpiku akan pendidikan yang tinggi, mimpiku akan menjadi seorang entrepreneur, mimpiku akan sosok pemuda yang baik agamanya, baik akhlaknya, baik keluarganya dan Bapak pun ridha kepadanya, mimpiku akan keluarga kecil yang menentramkan hati, serta mimpiku akan Bapak. Mimpiku akan Bapak yang berjabat tangan dengan pemuda yang aku impikan, Pak.

Pak, bersabar sedikit lagi. Sedikit lagi, Pak. Bapak akan sempurna menjadi seorang ayah. Aku yakin bahwa Tuhan punya rencana yang indah, sebuah kejutan yang menggembirakan di penghujung jalan nanti. Bukankah sebuah penantian yang panjang akan membuat hati ini semakin deg-degan dan penasaran? Bukankah perjalanan panjang ini akan memberikan pengalaman yang lebih banyak? Bukankah rasa penasaran dan perjalanan panjang ini semakin hari semakin menarik, Pak? Pak, aku sangat menyukai perjalanan panjang dan berliku seperti ini. Dua puluh tiga tahun lamanya, Pak. Selama 23 tahun aku berpuasa, agar aku siap dan pantas menerima nama yang ditakdirkan Tuhan. Dan Bapak tahu? Penantian panjang ini semakin menarik, kurasa. Karena setiap hari aku bertanya-tanya pada Tuhan dan menerka-nerka sosok seperti apa yang tersimpan di ujung sana. Setiap hari aku menerka-nerka kapan dan dimana kami akan berjumpa. Setiap hari aku bertanya pada Tuhan, masihkah aku harus berpuasa lebih lama lagi? Dan sungguh, Pak. Ini adalah sesuatu yang menarik. Sangat menarik, Pak. Rasanya hati ini diisi oleh ribuan kupu-kupu yang berterbangan. Rasanya aku semakin bersemangat untuk memperbaiki kualitas diri ini agar aku segera dipantaskan untuk bertemu dengan sosok pilihan Tuhan. Rasanya aku ingin selalu belajar, Pak. Belajar apa saja yang sekiranya menjadikanku sosok yang pantas untuk pemuda tersebut. Kurasa perjalanan kali ini semakin menarik, Pak.

Pak, semoga fisik dan mental Bapak tetap sehat hingga Bapak menunaikan kewajiban Bapak yang terakhir. Semoga Bapak bisa memilihkan sosok mantu terbaik, yang akan menggantikan Bapak dan menjaga putri Bapak hingga akhir hayat nanti. Semoga Bapak diberikan kelapangan hati, ketentraman jiwa, dan ketenangan dalam menjalani hari-hari. Aku, putrimu sangat menyayangimu, Pak.

 

Tugas Terakhir Bapak

Tadi siang gue berhasil landing dengan selamat di kampung halaman. Gue berhasil landing dengan meninggalkan kepingan kenangan di kota kembang. Halah. Intinya, mulai hari ini gue berniat untuk berbakti sepenuh hati. Gue mau nurutin apa keinginan bokap-nyokap. Gue mau jadi anak baik-baik.

Semacam masih ada yang  mengganjal di pikiran gue. Semacam ada rasa sesak di dada yang gue juga gak tau apa penyebabnya. Tapi ada satu kata yang terus terngiang di otak gue sejak tadi siang, yaitu “insecure”. Gue, sebagai anak merasa insecure kalau-kalau gue gak bisa bahagiain bokap nyokap. Dan sebaliknya, bokap nyokap juga ngerasa insecure kalau-kalau mereka gak bisa mengantarkan gue ke garis finish, dengan selamat.

Abang bilang kalau saat ini tugas bokap-nyokap satu per satu udah mulai beres. Gue udah menyelesaikan pendidikan dengan predikat memuaskan. Dan tugas terakhir bokap, sebagai seorang ayah yang diamanatkan oleh agama, harus mencarikan pemuda yang baik untuk menjadi pendamping hidup putrinya. Ini nih, yang bikin gue puyeng.

Gue mencoba untuk menjadi sosok yang arif dan bijaksana (semacam kek nama gebetan gue sedari SMA dulu ngahah). Kalau gue ada di posisi bokap, gue pasti juga akan melakukan hal yang sama. Gue pasti akan uring-uringan ngeliat anak gadis usia ‘mateng tinggal petik’ yang belum ketemu jodohnya. Gue juga pasti akan ngerasa insecure sebagai bapak. Gue pasti juga akan ngerasa was-was kalau-kalau nanti gue dipanggil Tuhan, sementara anak gadis gue gak ada yang jagain. Gue pasti akan ngelakuin hal yang sama kek bokap.

Tapi balik lagi. Sebagai seorang anak (yang udah tinggal petik ini) gue juga ngerasa insecure. Gue insecure kalau-kalau pemuda yang datang ini bukanlah yang terbaik. Gue ngerasa insecure, apakah pemuda yang datang ini mampu untuk menggantikan tugas bokap (yang mana diamanatkan oleh agama, berakhir sudah tugas seorang ayah jika telah terucap ijab dan kabul). Gue ngerasa insecure, apakah pemuda yang datang ini bisa menggantikan uluran tangan abang yang selalu ada setiap saat. Gue ngerasa insecure, apakah pemuda ini mampu menjadi imam, tulang punggung, sahabat, ayah, abang, kawan berbagi, kawan gila, kawan susah, kawan bermimpi, kawan bertakwa, kawan bertengkar, kawan tertawa, kawan belajar, kawan yang akan saling memperbaiki, kawan untuk berjalan beriringan, kawan sampai tua sampai mati, kawan dunia dan juga akhirat nanti. Duh, gue kelewat insecure, memang. Hahaha.

Tapi ayah mana yang tega menyerahkan putrinya kepada sembarang pemuda? Ayah mana yang tega menyerahkan tugas beratnya kepada pemuda yang tidak bertanggung jawab? Ayah mana yang tega menyerahkan putrinya kepada pemuda yang tidak sanggup mengemban amanah? Gue yakin pasti bokap akan memilihkan yang terbaik diantara yang baik-baik. Gue yakin bokap akan menyerahkan gue kepada pemuda yang sama baiknya dengan keadaan gue saat ini. Sebagaimana yang diamanatkan oleh agama, bahwa lelaki yang baik adalah untuk perempuan yang baik, begitu pula sebaliknya. Kalaulah gue sudah dalam keadaan baik, maka Tuhan pasti akan pertemukan gue dengan pemuda yang sama baiknya. Hanya saja sudah sebaik apa diri ini? Sudah seberapa siap diri ini untuk menerima pemuda yang baik-baik tadi? Hanya Tuhan yang tahu siapa, kapan, dan dimana kita akan bertemu. Halah.

Doa gue hari ini, semoga bokap bisa menemukan calon pengganti yang pas, sosok pemuda yang pantas untuk meneruskan perjuangan bokap dalam membimbing gue. Semoga bokap bisa berjabat tangan dan serah terima tanggung jawab dengan pemuda yang juga bertanggung jawab. Semoga pemuda yang datang ini adalah sosok yang amanah, yang bisa menggantikan peran ayah sekaligus abang bagi gue. Semoga Tuhan menyimpan pemuda tersebut dalam sebaik-baiknya keadaan. Tuhan Maha Tahu kapan waktu yang pas. Tuhan Maha Tahu dengan cara apa kita akan bertemu. Tuhan Maha Tahu siapa dia. Tuhan Maha Tahu segalanya. Tuhan Maha Tahu apa-apa yang tidak gue ketahui.

Sebuah Sajak Perpisahan

Di penghujung Bulan Oktober gue memutuskan untuk meninggalkan Kota Bandung dalam jangka waktu yang cukup lama. Gue pun sebenernya gak yakin apakah suatu saat nanti gue bakalan balik lagi ke Bandung atau enggak. Agak berat, memang. Soalnya selama ini gue ninggalin Bandung paling lama itu cuma sebulan. Itu pun rasa kangennya udah ke ubun-ubun. Apalagi sekarang, yang mungkin gue bakal ninggalin Bandung untuk setahun, dua, atau bahkan tiga tahun lamanya.

Tapi ini keputusan yang cukup berat yang harus gue ambil. Ada banyak mimpi yang harus gue relakan demi sebuah pekerjaan mulia bernama bakti. Iya, mungkin ini momentum bagi gue untuk berbakti pada orang tua. Disatu sisi gue pengen menetap setidaknya di Bandung ataupun Jakarta. Tapi disisi lain, ada sebuah tanggung jawab yang lebih besar, yang tengah menanti gue dirumah. Gue pun sempat kepikiran, kalaupun Tuhan menakdirkan gue untuk bekerja, suatu saat nanti gue pasti akan mendapatkan pekerjaan. Tapi kalau Tuhan menakdirkan orang tua gue untuk berpulang saat ini juga, gue bisa apa? Bakti gue kepada beliau belum seberapa.

Orang tua gue emang gak melarang gue untuk tetap bertahan di perantauan. Iya, orang tua mana yang tega menggugurkan mimpi-mimpi anaknya? Tapi sebagai seorang anak, gue juga gak mau menjadi pribadi yang egois. Pribadi yang mati-matian mengejar mimpi sehingga lupa bahwa ada ayah dan ibu yang semakin menua. Gue mencoba untuk menjadi pribadi yang dewasa (halah). Setidaknya gue ingin menghabiskan sisa waktu bersama kedua orang tua gue. Entah siapa yang akan berpulang terlebih dahulu. Entah ayah, ibu atau bahkan gue. Yang jelas gue ingin kalau kami memiliki sebuah memori yang baik di akhir hayat kami. Setidaknya gue ingin berbakti, sebagaimana kedua orang tua gue menyampaikan harapan-harapan mereka dahulu, “Semoga kamu menjadi anak yang berbakti”.

Jujur aja, banyak yang menyayangkan keputusan gue ini. Banyak yang menyayangkan kalau gue lebih memilih untuk pulang kampung ketimbang bertahan mengais rezeki di perantauan. Tapi gue sendiri punya perspektif yang berbeda. Di rumah sana, ada bokap dan nyokap gue yang menua, dan semakin renta. Mereka butuh teman berbagi, teman bercerita, teman yang akan mengingatkan jika mereka lupa. Mereka butuh gue. Iya, bokap dan nyokap butuh gue, meskipun mereka gak pernah ngomong langsung apa yang mereka butuhkan.

Fisik yang semakin renta dan usia yang menua juga membuat nyokap gue seperti “kebakaran jenggot” pengen punya mantu. Nyokap udah kebelet pengen liat gue nikah. Alasan klasik dari emak-emak pada umumnya, “Mama sudah tua. Nanti takutnya mama gak bisa liat kamu nikah”. Klise, memang. Tapi ada benernya juga. Gue yang tadinya ogah nikah muda, sekarang udah mulai melunak. Bukan, bukan. Bukan karena gue sama kebeletnya kayak nyokap. Tapi gue berprinsip, apabila telah datang kepadamu seorang pemuda yang baik agamanya, baik akhlaknya, baik keluarganya, dan engkau pun ridho kepadanya, maka janganlah engkau menolaknya. Kalaulah nyokap gue telah didatangi oleh pemuda yang demikian, yaa gue bisa apa selain menerima? Iya, kan? Hahaha.

Entahlah. Mungkin ini bentuk lain dari bakti pada orang tua. Mungkin dengan memiliki mantu dari gue bisa menjadi pengobat hati bokap dan nyokap gue di rumah. Asalkan pemuda yang datang memenuhi kriteria yang tadi gue sebutkan, Insya Allah, atas izin Tuhan, gue gak akan nolak. Muehehehe

Well, ini adalah hari terakhir gue di tanah Jawa. Besok gue bakalan pulang kampung untuk waktu yang lama. Terimakasih, Bandung. Terimakasih atas waktu 4 tahun yang luar biasa. Terimakasih atas pengalaman berharga, pengalaman gila, dan pengalaman yang mendewasakan. Semoga kita bisa bertemu lagi suatu saat nanti 🙂

Who’s Side Are You On

Barusan gue mau tiduran manja, tapi kayanya gue mau flu jadinya dari tadi idung gue meler terus. Antara mau ngebuang ingus atau malah menelannya agar bisa dikeluarkan lagi (duh, kerjaan gue jorok banget yak), gue kepikiran nyokap sama bokap di rumah. Lucu memang, kalo dipikir-pikir gue ini lebih mirip siapa, nyokap atau bokap?

Ada yang bilang wajah gue mirip nyokap. Sama-sama berwajah bulat telur (gak bulat dan gak juga oval). Tapi kalo dari sisi kulit kayanya gue lebih mirip bokap. Nyokap gue berkulit putih sementara bokap gue kulitnya rada hitam. Eh, apa gue mewarisi gen keduanya? Soalnya kulit tangan gue warnanya sawo matang, kaki gue putih, dan wajah berwarna abu-abu tanah liat. Kayanya gue cocok jadi menhir atau stupa di candi borobudur.

Kalo dari ciri-ciri fisik mungkin gue lebih dominan mirip bokap. Rambut hitam legam dan tebel kek bulu domba abis main tanah. Eh, tapi rambutnya bokap rada ikal, sementara rambut gue lurus (kecuali kalo gue gak sisiran seminggu). Kayanya abang-abang gue yang ngikutin bentuk rambutnya bokap yang ikal, dan gue ngikutin rambutnya nyokap yang lurus. Alis gue juga tebel kek alis bokap. Bokap gue idungnya besar dengan tulang idung yang tinggi, dan itu gue fotokopi banget banget banget. Mata gue juga persis kek mata bokap yang besar, beda sama nyokap yang matanya rada kecil dan sedikit turun.

Soal pemikiran, mungkin gue 60% nyokap dan 40% bokap. Both of my parents are genius. Gue akui itu. Tapi kayanya gue lebih dominan ke nyokap. Nyokap gue hobi ngomong. Lebih tepatnya hobi dan pinter ngomong. Hobi dan pinter itu dua hal yang berbeda. Ada orang yang cuma hobi ngomong tanpa tau pasti apa yang dia omongin (apa aja bisa jadi bahan obrolan, bahkan urusan rumah tangga orang lain). Sementara pinter ngomong itu tau menempatkan diri, kapan harus ngomong dan kapan harus ngomong lagi (halah). Dan nyokap gue punya keduanya. Nyokap gue itu seorang aktivis (ya bisa dibilang begityu), aktif berorganisasi dan sering jadi pembicara di beberapa forum. Nyokap gue, lagi makan rujak aja kalo ada yang nyuruh ceramah juga bakal dijabanin. Segitu pinternya nyokap gue buat ngomong dan menyusun omongan (memikirkan apa yang akan diomongkan). Dan sedikit dari kepintaran nyokap itu nurun ke gue. Iya, cuma sedikit. Cause i’m a formula of both (mom + dad), so literally i’m half mom and half dad. Gue sebenernya juga hobi dan pinter ngomong. Tapi kalo dirasa perlu aja. Kalo dalam forum diskusi, gue demen banget buat ngomong panjang lebar, soalnya gue hobi debat. Bagi gue, perdebatan itu bukan hanya soal siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam mempertahankan argumen, tapi juga soal bertambahnya pengetahuan, karena pihak “lawan” punya informasi yang gak kita ketahui. Tapi kalo dalam kehidupan sehari-hari gue males banget ngomong. Apalagi sama orang yang gak “gue banget”, yaitu orang-orang yang masih gue anggap asing (bukan hanya orang asing). Orang-orang yang gue kenal pun tapi gak “gue banget” gak akan gue ajakin ngobrol sampe mulut berbusa. Artinya gue cuma ngobrol sebatas basa basi doang. Mungkin ini turunan dari bokap yang gak terlalu banyak omong. Tapi kalo itu orang udah masuk dalam radar gue sebagai orang yang “gue banget”, bisa-bisa itu orang mati overdosis dengerin ocehan gue.

Orang bilang kalo anak cewek lebih mirip ayahnya sementara anak cowok lebih mirip ibunya. Tapi gue lebih abstrak dari kedua teori tersebut. Gue gak tau lebih dominan siapa. Mungkin bokap, tapi bisa jadi juga dominan nyokap. Gue orangnya sensitif, mirip banget sama nyokap. Nyokap gue orangnya gampang tersinggung dan gampang baper. Nonton sinetron aja nyokap gue sampe jadi komentator live report gitu. “Ih, ngapain sih bu haji ini dateng lagi ke tokonya pak haji. Kan tokonya belum buka”. Nyokap gue juga gampang mewek. Gue kasi kabar telat mudik aja nyokap langsung gak semangat gitu jawab telpon. Pas gue bilang gak akan pulang waktu libur semester, nyokap gue langsung masuk kamar dan update status. Eh, engga ding. Nyokap gue mewek. Duh, memang hati wanita itu selembut kapas dan serapuh benang. Tapi gue orangnya juga cuek persis kek bokap. Dirumah gue itu mungkin makhluk yang paling cuek se-kerajaan rumah tangga adalah bokap. Bokap gue orangnya gak terlalu ngurusin orang lain, wong ngurusin diri sendiri aja udah repot. Bokap juga gak terlalu mikirin ini itu. Nasi rada keras, ya tetep dimakan. Nasi lembek juga dimakan. Sayur keasinan dimakan, yang ga ada rasanya juga tetep ditelen. Tapi ada satu kemiripan antara nyokap dan bokap gue yang juga diturunkan ke gue, yaitu kita sama-sama gak tegaan. Iya, keluarga gue diisi sama orang-orang yang sok-sok-an berhati malaikat. Kita semua orangnya gak tegaan. Ada orang yang minta bantuan, sebisa mungkin dibantu, meskipun diri sendiri juga lagi kesusahan dan sebenernya juga butuh bantuan. Ada orang yang dateng sambil nangis, kita juga ikutan nangis, padahal masalah hidup kita jauh lebih rumit daripada orang itu. Ada orang yang dateng berkeluh kesah, kita bantu dengan mencarikan solusi, meskipun masalah-masalah yang kita punya juga menunggu untuk diselesaikan. Rumit memang, keluarga gue.

Kalo nyokap gue orangnya aktif berorganisasi dan suka wara-wiri, bokap gue lebih suka dengan rutinitas harian yang lebih konsisten. Mungkin bokap gue lebih introvert sementara nyokap gue orangnya ekstrovert. Tapi dulu-dulu bokap gue masih aktif berorganisasi, bahkan bokap seringkali ditunjuk sebagai penanggung jawab atau memegang beberapa posisi strategis. Tapi yaa gitu, nyokap gue lebih menonjol. She shines like a diamonds. Nyokap gue sampe sekarang masih aktif di organisasi. Masih kunjungan sana-sini. Tapi kalo bokap, akhir-akhir ini lebih sibuk dengan dunianya yang konsisten. Beda dengan nyokap yang “meletup-letup”. Mungkin ada beberapa yang gue copy dari nyokap. Meletup-letup. Gue suka bepergian dan gak akan bisa bertahan di satu tempat dalam waktu yang lama. Tapi disisi lain gue gak terlalu suka organisasi. Gue lebih suka menyendiri dan mikir dalam kesendirian itu. Mungkin gue lebih cocok jadi seorang petapa. Halah.

Tapi dibalik berbagai macam perbedaan yang ada, nyokap dan bokap gue juga memiliki beberapa persamaan. Mereka sama-sama gak bisa nyimpen uang. Kantongnya selalu bolong, makanya keluarga gue gak bisa kaya raya. Hahaha. Mungkin ini masalah utama di keluarga gue. Kita gak pernah bisa nabung. Setiap rezeki yang didapat, gak bisa bertahan lama. Selalu ada cara untuk membelanjakannya. Haha. Tapi seenggaknya nyokap gue lebih tau gimana caranya memanajemen uang. Tapiii, yaa gitu. Kalo lagi khilaf, nyokap gue bakal ngebobol tabungannya sendiri. Muehehe. Abang-abang gue juga gitu. Gak pernah bisa yang namanya bener-bener nabung. Tapi Alhamdulillahnya, selalu ada rezeki dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Nyokap dan bokap gue juga sama-sama pinter. Bukannya gue memuji penghasil gen gue sendiri. Tapi emang kenyataannya begitu. Buktinya abang-abang gue pada pinter. Dan gue kebagian sisa-sisa kepinteran mereka. Sayangnya sisanya gak banyak. Makanya gue gak pinter-pinter amat. Kalo nyokap gue itu pinternya dalam otak, sementara bokap gue pinternya kontekstual. Nyokap gue mencerna apapun dalam otaknya, sementara bokap gue orangnya textbook dan teoritis banget. Kalo nanya sesuatu sama nyokap, bakal langsung dapet jawaban. Tapi kalo nanya ke bokap, maka beliau akan mengeluarkan teori-teori dari zaman romawi kuno. Iya, ini true story. Jaman dulu pas gue masih sekolah di sekolahannya tetangga, gue sering nanya soal pelajaran sama nyokap. Apapun pelajarannya, mulai dari Agama, IPA, IPS, Menggambar, Matematika, sampai Psikologi (yakali anak SD udah belajar memahami diri sendiri). Nyokap bakal langsung tau atau seenggaknya langsung bisa ngasih solusi atas pertanyaan gue. Sementara saat gue nanya ke bokap, maka bokap akan mengeluarkan buku-buku dari lemarinya, terus bokap jelasin teori-teori yang textbook banget ke gue. Lebih ilmiah, memang. Tapi otak gue gak punya saringannya, jadi informasinya lewat gitu aja. Uhuhu.

Nyokap dan bokap gue juga sama-sama keras kepala. Beliau sama-sama punya keinginan yang kuat, atau bahasa kerennya ambisius. Semacam ada rencana tak tertulis dalam otak beliau tentang rancangan masa depan. Bulan depan harus punya pemasukan berapa, harus bisa nyicil ini itu, harus lunasin utang ke si itu, bla bla bla. Nyokap dan bokap gue punya suatu goal yang harus mereka capai apapun kondisinya. Seringkali bokap gue ujan-ujanan keluar rumah cuma buat beli makanan yang lagi diidam-idamkan. Yang padahal, kalo bagi orang lain itu cuma makanan, sebuah hal sepele yang bisa dilakukan kapan saja, gak harus saat itu juga. Tapi bagi bokap, saat beliau ingin makan sesuatu dan udah ngidam banget, hujan badai juga bakal ditempuh demi nyamperin si mamang penjualnya. Hal ini juga nurun ke gue. Kalo dipikir-pikir gue ini orangnya ambisius banget. Kalo gue pengen sesuatu, apapun dan bagaimanapun caranya gue harus dapetin. Gue akan coba meskipun harus gagal berkali-kali. Tapi kalo pada akhirnya memang harus gagal lagi, gue bakalan berhenti. Mungkin memang bukan hak gue untuk memiliki. Memang Tuhan yang nyuruh berhenti.

Soal kebersihan kayanya gue percampuran antara nyokap dan bokap. Bokap gue orangnya perfeksionis dan rapi banget. Nyokap bilang kalo pas jaman muda dulu, bokap gue ini ibarat casanova yang jadi idola. Halal. Tapi emang bener, bokap gue itu orangnya teliti banget dan rapi abis. Kalo mau pergi keluar rumah dandanannya musti rapi. Baju musti disetrika sampe gak ada kerutan, dan musti wangi. Kalo mau sholat juga musti rapih dan kalo bisa mandi dulu. Sementara nyokap gue lebih ke freestyle. Iya, nyokap gue orangnya lebih cuek. Malah sampe sekarang nyokap masih suka naruh barang sembarangan. Kalo pulang ke rumah, seringkali nyokap naruh jilbabnya di kursi, naruh tas di karpet, naruh dompet di meja, naruh kacamata di lemari, dan naruh henpon di bawah bantal. Makanya, nyokap gue sering “kehilangan” barang. Dan gue, mewarisi kedua sifat tersebut. Disatu sisi, gue orangnya berantakan. Tapi dalam kondisi tertentu gue juga sangat perfeksionis. Seperti pas melipat kain sarung sama mukena, gue pasti melipatnya sesuai bentuk atau arah jahitan. Biar rapi. Pas nyusun uang kertas di dalam dompet, gue bakal nyusun sesuai nominal dan arah wajah (depan-belakang). Kalo nyusun buku juga begitu, gue bakal nyusun sesuai ukuran (tinggi-tebal), judul, bahkan warna. Gue suka dengan sesatu yang rapi. Meskipun gue sendiri bukan orang yang rapi. Halah. Ironis, memang.

Sebenernya ada banyak hal yang gue fotokopi dari nyokap maupun bokap. Secara formulanya memang berasal dari beliau berdua. Ada banyak hal yang menarik dari nyokap dan bokap gue. Meskipun keduanya bukanlah sosok yang sempurna. Meskipun rumah tangga yang mereka jalani bukanlah sesuatu yang bisa disebut ideal. Tapi gue berharap suatu saat nanti bisa menjadi keluarga seperti yang mereka bangun berdua. Ada banyak hal yang bisa gue tiru, tapi gak sedikit juga yang bisa dijadikan pelajaran untuk tidak diikuti nantinya. Secuek-cueknya bokap, gue yakin kalo bokap itu sayang banget sama nyokap. Dan sebaper-bapernya nyokap, gue yakin kalo nyokap cuma pengen nyari perhatian dari bokap gue yang cuek. Sebenernya gue masih kepikiran, bagaimana bisa dua orang yang dulunya gak saling mengenal bisa menghabiskan waktu bersama hingga nyaris 40 tahun lamanya. Bokap yang cuek + nyokap yang melankolis. Dua pribadi yang sama-sama keras kepala tapi bisa bertahan empat dekade lamanya. Sama-sama memulai dari bawah. Sama-sama memulai dari bukan siapa-siapa, sampai melahirkan generasi yang jadi “siapa-siapa”. Sama-sama merintis usaha dari NOL. Sampai akhirnya menjadi besar dan berkembang. Sama-sama saling menguatkan dalam setiap kesulitan. Sama-sama menjadi orang tua yang tidak bisa dibilang sempurna, tapi selalu ada. Sama-sama saling mengisi hingga hari tua. Sama-sama keras kepala tapi sama-sama tau kapan dan siapa yang harus mengalah.

Mungkin nyokap gue udah ngebet banget pengen punya mantu terakhir. Halah. Mungkin juga bokap gue kepikiran hal yang sama. Mungkin juga gue. Tapi gue masih mencari sosok yang pas, yang kira-kira bisa bertahan hingga empat, lima, atau bahkan enam dekade hidup bersama. Sosok yang akan menghabiskan hari tua bersama, menyeruput secangkir teh hangat sambil bercerita tentang cucu-cucu kecil yang lucu. Sosok yang “pas” untuk berbagi semuanya. Semua hal dari yang besar hingga terkecil. Berbagi cerita tentang harga bumbu dapur sampai urusan sekolah anak. Sosok yang “pas” untuk saling mengingatkan. Sosok yang “pas” untuk bertengkar lalu berdamai dengan “cool-nya”. Sosok yang “pas” untuk berdebat, saling adu argumen lalu mencairkan suasana dengan saling menemukan solusi. Sosok yang “pas” untuk diajak “gila”, sebagaimana kehidupan dunia ini yang sudah mulai menggila. Sosok yang “pas” untuk membahas akan pahala dan dosa. Sosok yang “pas” untuk berjalan beriringan, menghindari jalanan berlubang, melompati genangan air, menyeberangi anak sungai dengan bebatuan kecil diantaranya, menendang-nendang kerikil selama di perjalanan, terjatuh dan bangkit bersama, hingga mati pun juga di jalan yang sama. Sosok yang cuma Tuhan yang tahu. Sosok yang entah siapa dan bagaimana rupanya. Sosok yang mungkin saja ada di Korea sana. Halah. Becanda, ding. Sosok yang cepat atau lambat pasti akan bertemu. Hanya sesabar apa hati ini akan menunggu. Duh kan, gue baper kek nyokap. Uhuhu